Powered By Blogger

Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
Trust me I'm the doctor gonna be... ^^

Link Page

Selasa, 10 Januari 2012

4 Kesunyataan Mulia



BAB I
PENDAHULUAN

            Telah kita ketahui bersama bahwa inti dari ajaran Sang Buddha , yaitu mengatasi masalah ketidak bahagiaan manusia melalui jalan spiritual. Ketidakbahagiaan yang dialami oleh umat manusia ini dapat dipahami serta dituntaskan melalui ajaran Buddha yang dikenal dengan sebutan Empat Kebenaran Ariya atau Empat Kesunyataan Mulia. Ajaran mengenai Empat Kebenaran Ariya ini pertama kali dibabarkan oleh Buddha pada tahun 528 Sebelum Masehi di Taman Rusa di Sarnat, dekat Varanasi.
            Ajaran mengenai Empat Kesunyataan Mulia ingin menjelaskan kepada kita bahwa kita harus payah menjalani kitaran panjang ini dikarenakan oleh ketidaktahuan, ketidakmampuan kita menembus pemahaman empat kebenaran. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.
            Empat kebenaran Ariya tersebut akan dibahas pada makalah ini di bab selanjutnya. Secara ringkas Empat Kebenaran Ariya berisi tentang kebenaran yang diantaranya adalah kebenaran tentang Dhukka, kebenaran tentang penyebab Dhukka, kebenaran tentang lenyapnya Dhukka, dan kebenaran tentang 8 jalan kebenaran menuju lenyapnya Dhukka tersebut. Masing-masing kebenaran ini memiliki tiga aspek sehingga seluruhnya terdiri dari dua belas insight. Arahat dalam aliran Theravada adalah orang yang telah sempurna, orang yang sudah memahami dengan jelas Empat Kebenaran Ariya beserta tiga aspek dan dua belas pengetahuannya. ‘Arahat’ berarti seorang manusia yang telah tembus-memahami kebenaran; terutama ajaran mengenai Empat Kebenaran Arya.






BAB II
ISI

Empat Kebenaran Mulia (Pali : cattāri ariyasaccāni) adalah kebenaran absolut atau mutlak yang berlaku bagi siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Mengakui atau tidak mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi oleh hukum kebenaran ini.
Empat Kebenaran Mulia ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Empat Kebenaran Mulia yang ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gotama kepada umat manusia di bumi ini. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.
Empat Kebenaran itu adalah:
1.      Kesunyataan tentang adanya Dukkha (Dukkha)
2.      Kesunyataan tentang sebab Dukkha (Dukkha Samudaya)
3.      Kesunyataan tentang lenyapnya Dukkha (Dukkha Niroda)
4.   Kesunyataan tentang jalan berunsur 8 menuju akhir Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)

A.    Kesunyataan tentang adanya Dhukka
Kesunyataan Mulia Pertama (Dukkha Ariyasacca) pada umumnya oleh hampir semua sarjana diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia Pertama tentang penderitaan” dan ini menurut anggapan mereka harus diartikan bahwa menurut paham Buddhis, penghidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan.
Terjemahan dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak memuaskan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya terjemahan yang singkat dan bebas ini, banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis.
Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif (jathabhutang) dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal.
Agama Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa tedeng aling-aling tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada di sekeliling Anda dan juga menunjukkan jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan.
Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya. Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya. Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong.
Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya-Guru).
Tidak dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan sehari-hari berarti “derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai lawan dari kata “sukha” yang berarti “bahagia”, “senang” atau “gembira”‘. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai, dalam Kesunyataan Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang lebih dalam dan mencakup bidang yang sangat luas.
Kata “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita” biasa juga, mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak sempurna”, “tidak kekal”, “kosong”, “tanpa inti”, dll. Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita” dan “sakit”.
Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat ditemukan satu daftar dari kebahagiaan (sukhani), misalnya kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan, harus diketahui bahwa keadaan “jhana” (yang dapat dicapai dengan melaksanakan samadhi), sehingga orang dapat membebaskan dirinya dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan “dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga termasuk dalam pengertian “dukkha”.
Dalam salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi kebahagiaan batin yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian bersabda bahwa kebahagiaan  itu akan berubah dan tidak kekal dan karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” (anicca dukkha viparinama-dhamma).
Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan  jelas, bahwa “dukkha” bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” (Yad aniccang tang dukkhang).
Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal :
                                i.            perasaan tertarik atau kegembiraan (assada)
                              ii.            akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas (adinava)
                            iii.            perasaan tidak terikat atau terbebas (nissarana).

Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu; dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal.
Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” (adinava). Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari.
Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak terikat” dan “terbebas” (nissaana).
Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu.
Dengan demikian barulah kita dapat  memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb.:
“O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.”

Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi:
                                i.            dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
                              ii.            dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinama-dukkha)
                            iii.            dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi (sankhara-dukkha).

Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti: dilahirkan, berusia tua, mati; bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi; tidak memperoleh sesuatu yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa” (dukkha-dukkha).
Suatu perasaan bahagia, suatu  keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan” (viparinama-dukkha).
Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari.
Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku” itu.
Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran (pancakkhanda).
Sang Buddha pernah bersabda sbb.: “Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”. Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah dukkha itu? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.”
Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha tersebut.

1)      Khandha pertama ialah “kegemaran kepada bentuk” (rupakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak.
Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita (mata, hidung, telinga, lidah dan badan) dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran (dhammayatana). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini.

2)      Khandha kedua ialah “kegemaran kepada perasaan” (vedanakkhanda).
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan (perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral) yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar.
Ada enam jenis perasaan: perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara, hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam kelompok ini.
Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah “pikiran” (manas) dalam filsafat Buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya juga sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat melihat suara, tetapi kita mendengar suara.
Dengan lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh.
Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu indria pikiran.
Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik.
Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide (gambaran) tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran (manas) dapat dianggap sama seperti indria-indria lain, misalnya mata atau telinga.

3)      Khanda ketiga ialah “kegemaran kepada pencerapan” (saññakkhandha). Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental.

4)      Khandha keempat  ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” (sankharakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan “kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri: “O bhikkhu, kehendak (cetana) itulah yang Aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak (cetana) adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral.
Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.

Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak. Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya:
Manasikara
            perhatian
Chanda
keinginan untuk berbuat
Adhimokkha
ketetapan hati
Saddha
keyakinan
Samadhi
samadhi
Pañña
kebijaksanaan
Viriya
semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu
Raga
hawa nafsu
Patigha
kebencian, dendam
Avijja
ketidaktahuan, kebodohan
Mana
kesombongan
Sakkayaditthi
ide tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah
Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran”

5)      Khandha kelima ialah “kegemaran akan kesadaran” (viññana-kkhanda ).
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan.
Misalnya, kesadaran mata (cakkhu-viññana) mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat.
Kesadaran pikiran (mano-viññana) mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya.
6)      Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa. Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran indria-indria lainnya.


Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai “aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran (viññana) janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi.
Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru pernah berkata: “Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling.” Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan “kesadaran” itu? Jawaban Sati adalah klasik: “Sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.”
“Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dst.dst.
Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan.
Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul (Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta).
Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut: “… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. …
Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata: “Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara (rupapayang), benda sebagai obyek (ruparammanang), benda sebagai pembantu (rupapatitthang) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang.
Andaikata ada orang yang berkata: aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.”
Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kegemaran (Pañcakkhanda). Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau “aku” hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran tersebut.
Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha (Yad aniccang tang dukkhang). Inilah makna sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha: “Secara singkat, Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali.
“O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah berkata kepada Ratthapala: “Dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.”
Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta (Pali) atau Atman (Skrt) yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai “aku”.
Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang “aku” itu.
Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang “aku” (sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya = tubuh).
Lima Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai “makhluk”, juga merupakan dukkha (sankharadukkha). Sebenarnya tak ada “makhluk” atau “aku” lain yang berdiri di belakang Lima Kelompok Kegemaran itu yang mengalami penderitaan.
Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata:
“Hanya penderitaan yang ada, namun
“tak dapat dijumpai si penderita;
“Perbuatan yang ada, tetapi
“tak ada si pembuat.” (Vism. (PTS), hal. 513)
Tak adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.”
Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir.
Sang Buddha pernah bersabda: “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir (samsara) tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran ke sana dan ke mari, diselubungi oleh ketidaktahuan (avijja), diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya (tanha), tidak dapat diketahui dengan jelas.” (S II, hal. 178/9; III hal. 149, 151).
Selanjutnya mengenai ketidaktahuan (avijja), yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya, Sang Buddha bersabda: “Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas. Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa di luar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.”
Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan di luar titik tertentu. Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia tentang Dukkha.
Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda: “Ia yang telah melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.”
Harap jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau sewajarnya.
Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum (mihitapubbangama).
Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung.
Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” (ill-will) terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar terhadap penderitaan.
Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar, dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu.
Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya, kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras.
Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha.
Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang.
Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata (Buddha).
Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus Kesunyataan dan memperoleh Penerangan Agung.
Sebaliknya, kegiuran (piti) termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung (Nibbana)

B.     Kesunyataan Tentang Sumber Dhukka.
Kesunyataan Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha (Dukkha samudaya ariyasacca). Definisi populer dan terkenal yang dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi sbb. : “Dukkha bersumber kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir (ponobhavika), yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang memperoleh kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini), yaitu :
  1. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu ( kama-tanha )
  2. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran ( bhava-tanha )
  3. kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau “pemusnahan diri” ( vibhava-tanha ).
Kehausan ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab yang pertama; segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling berkaitan. Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya), tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan ini tergantung pada kontak (phassa) dst….. dan terciptalah satu lingkaran Hukum Pokok Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.
Dalam beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari samudaya sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping tanha sebagai sebab utama. Dalam pembahasan kita yang serba terbatas dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya kalau kita senantiasa ingat bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada anggapan keliru tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan (dhamma-tanha).
Menurut analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan di dunia ini, dari perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan peperangan besar antara negara dengan negara, timbul dari tanha ini yang mementingkan diri sendiri saja (Majjhima Nikaya 13, Maha Dukkhanda Sutta).
Dari sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial bersumber pada tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang mencoba menyelesaikan persoalan internasional dan berbicara perihal perang dan damai, ekonomi dan politik hanya membicarakan kulit persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya yang lebih dalam.
Sang Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini membutuhkan, menginginkan dengan sangat dan kemudian terikat kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82, Ratthapalasutta).
Setiap orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti. Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan kelangsungan-kembali dan kelahiran-kembali (Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah untuk dipahami.
Di sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi dari Kesunyataan Mulia Pertama. Tetapi terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai hukum kamma dan tumimbal-lahir.

Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan berlangsung, yaitu :
  1. makanan biasa ( kabalinkarahara )
  2. kontak dari enam indria kita dengan dunia luar ( phassahara )
  3. kesadaran ( viññanahara )
  4. kehendak atau kemauan batin ( manosañcetanahara )
    manosañcetana terdiri dari : mano = batin, sañña = pencerapan, cetana = kemauan, kehendak.
Ahara keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk bertumimbal-lahir, untuk berlangsung dan untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar bagi kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan baik dan buruk (kusalakusala kamma).
Hal ini sama seperti kehendak (cetana). Di bagian depan kita telah melihat bahwa kehendak (cetana) itulah kamma, sebagaimana didefinisikan oleh Sang Buddha sendiri.
Mengenai cetana ini, Sang Buddha sendiri pernah bersabda: “Siapa yang mengerti makanan dari cetana ia juga akan mengerti tiga bentuk tanha (kehausan).” Oleh karena. itu, tanha (kehausan), kehendak, kehendak mental dan kamma semuanya mempunyai arti yang sama, yaitu keinginan atau kemauan untuk “ada”, untuk hidup, untuk hidup kembali, untuk lebih sempurna lagi, untuk berkembang lebih baik, untuk menghimpun lebih banyak lagi.
Inilah sebab timbulnya dukkha dan ini dapat ditemukan dalam Kelompok Kegemaran dari Bentuk-bentuk Pikiran, yaitu salah satu dari Lima Kelompok Kegemaran yang merupakan unsur dari seorang manusia.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya.
Inilah apa yang dimaksudkan dengan sebuah pepatah Pali terkenal yang berbunyi sbb. : Yangkiñci Samudayadhammang Sabbang Tang Nirodhadhammang. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah : Di dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu sebab terdapat sebab yang membuatnya musna kembali.
Kalau di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun terdapat kekuatan atau bibit yang dapat menghentikannya atau menghancurkannya.
Di dalam dukkha (Lima Kelompok Kegemaran) yang mengandung kekuatan untuk menimbulkan, juga terdapat kekuatan untuk menghentikannya. Hal ini akan kita temukan dalam pembahasan mengenai Kesunyataan Mulia Ketiga (Nirodha).
Perkataan Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) menurut hurufnya berarti “action” atau perbuatan. Tetapi, dalam agama Buddha kamma mempunyai arti khusus, yaitu hanya diartikan sebagai “perbuatan kehendak” dan bukan dalam arti perbuatan pada umumnya. Kamma juga jangan disalah artikan sebagai akibat dari suatu perbuatan. Dalam terminologi Buddhis, kamma belum pernah diartikan sebagai satu akibat; akibatnya dikenal sebagai “buah” atau “hasil” karma (kamma-phala atau kamma-vipaka).
Kehendak secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga keinginan dapat saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif dapat saja baik atau buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan akibat yang baik dan karma buruk (akusala-kamma) menghasilkan akibat yang buruk.
Tanha (nafsu keinginan), kehendak, kamma yang baik atau buruk, semuanya dapat menimbulkan tenaga atau kekuatan untuk belangsung ke arah yang baik atau yang buruk. Baik dan buruk ini pun sebenarnya relatif karena ia bergerak di dalam lingkaran dari Samsara (Lingkaran tumimbal-lahir).
Seorang Arahat meskipun berbuat sesuatu tidak akan menimbun karma karena ia telah terbebas dari konsepsi palsu tentang adanya “aku”, terbebas dari tanha (nafsu keinginan) untuk berlangsung dan lahir-kembali, terbebas dari segala macam noda dan kekotoran batin (kilesa, sasava dhamma). Beliau tak akan bertumimbal lahir lagi di dunia ini.
Semua perbuatan kehendak menimbulkan akibat atau hasil. Perbuatan baik akan membawa akibat baik dan perbuatan buruk akan membawa akibat buruk. Hal ini sebetulnya bukan merupakan pahala atau hukuman yang dijatuhkan oleh orang lain atau suatu kekuatan yang mengadili tiap-tiap perbuatan seseorang melainkan hal ini terjadi berkat pembawaannya sendiri, hukumnya sendiri.
Hal di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit untuk dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan kehendak dapat terus memperlihatkan diri sampai pada kehidupan sesudah orang meninggal dunia.
Marilah kita bahas persoalan di atas dengan terlebih dulu menerangkan apa yang dinamakan “kematian” menurut paham agama Buddha. Kita semua tahu bahwa yang dinamakan manusia itu sebenarnya terdiri dari dua kelompok kekuatan, yaitu kelompok fisik dan mental. Yang kita namakan kematian pada hakekatnya berarti, bahwa badan jasmani (fisik) kita pada saat itu berhenti berfungsi secara total. Apakah pada saat yang bersamaan kelompok kekuatan mental kita juga berhenti berfungsi? Buddha Dhamma secara tegas mengatakan: “Tidak”.
Kemauan, kehendak, keinginan, kehausan untuk hidup, untuk berlangsung terus, untuk menjadi lebih sempurna lagi, merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan semua kehidupan, seluruh keadaan hidup, bahkan seluruh dunia ini. Ia merupakan kekuatan yang terbesar, energi yang terhebat di dunia ini.
Menurut agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak berfungsinya lagi secara total badan jasmani kita; ia terus memanifestasikan diri dalam bentuk lain yang menghasilkan kelahiran kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.
Sekarang pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang tetap, tidak ada inti yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah gerangan yang berlangsung kembali atau dilahirkan kembali sesudah orang itu mati?
Sebelum kita membahas kehidupan sesudah mati, marilah kita tinjau dulu apa sebenarnya kehidupan sekarang ini dan bagaimana ia berlangsung.
Yang dinamakan kehidupan, sebagaimana sudah berulangkali dikatakan, adalah perpaduan dan kerja-sama antara Lima Kelompok Kegemaran, yaitu kerja-sama secara terpadu antara kekuatan-kekuatan fisik dan mental. Mereka senantiasa berubah-ubah dan tidak sama meskipun untuk sesaat. Setiap saat mereka dilahirkan dan setiap saat pula mereka mati. Sang Buddha pernah bersabda: “Sebagaimana Kelompok Kegemaran itu timbul, menjadi lapuk dan mati, O bhikkhu, engkau pun, setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati”.
Oleh karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat dilahirkan, menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap berlangsung. Kalau kita dapat menerima bahwa dalam penghidupan ini kita dapat berlangsung tanpa ada suatu substansi seperti Atta atau Jiwa (yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita tidak dapat menerima bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa Atta atau Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.
Kalau badan jasmani ini tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya, kekuatan-kekuatan tersebut tidak turut mati, melainkan tetap berlangsung dengan mengambil bentuk lain yang lazim kita sebut sebagai “kehidupan lain”.
Di dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual masih lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak membentuk seorang manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan mental yang merupakan bagian dari apa yang disebut “manusia” itu terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru untuk kemudian berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.
Oleh karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak berubah, maka tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari satu saat ke saat yang lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa tidak terdapat sesuatu yang kekal dan abadi yang dari satu kehidupan pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya merupakan satu rangkaian yang berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat berubah-ubah. Sesungguhnya, rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan gerakan belaka. Seperti juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala pada permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama namun juga tidak berbeda.
Seorang anak tumbuh menjadi seorang kakek berumur 60 tahun. Terang bahwa kakek tersebut tidak sama dengan seorang anak pada 60 tahun yang lalu, namun ia sebenarnya juga bukan orang lain.
Begitu juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal lahir di tempat lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang yang lain. Orang tersebut merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama. Perbedaan antara mati dan lahir-kembali hanya merupakan pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought moment” yang terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada hakekatnya merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.
Dalam kehidupan sekarang juga, satu “thought moment” menciptakan kondisi untuk timbulnya satu “thought moment” yang berikutnya. Oleh karena itu, menurut pandangan seorang Buddhis, persoalan hidup dan mati bukanlah merupakan satu persoalan yang diliputi rahasia besar dan seorang Buddhis tidak begitu merisaukan persoalan ini. Selama masih ada kehausan untuk menjadi dan berlangsung, selama itu pula roda samsara akan berjalan terus. Ia hanya dapat berhenti, apabila tenaga pendorongnya yang berupa tanha dapat dikikis habis dengan Kebijaksanaan yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan, Nibbana.

C.    Kesunyataan tentang Lenyapnya Dhukka.

Kesunyataan Mulia Ketiga membahas tentang pembebasan diri dari penderitaan, dari terus berlangsungnya dukkha. Oleh karena itu, ia dinamakan Kesunyataan Mulia Tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariyasacca); yang berarti Nibbana (Pali) atau mungkin lebih populer dengan istilah Nirvana (Sansekerta).

Untuk menyingkirkan dukkha secara total, kita harus menyingkirkan akar dukkha, yang sebagaimana kita lihat di halaman-halaman bagian depan dinamakan tanha. Oleh karena itu, Nibbana juga dikenal dengan istilah Tanhakkhaya (Padamnya nafsu keinginan).

Mungkin anda akan bertanya: Apakah sebenarnya Nibbana itu? Buku-buku tebal ditulis untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang sederhana dan biasa ini, namun kenyataannya mungkin lebih mengacaukah persoalan ini daripada menerangkannya.

Jawaban yang saya anggap dapat dipertanggungjawabkan ialah bahwa itu tidak mungkin dapat dijawab secara menyeluruh dan memuaskan dengan kata-kata karena kata-kata terlalu “miskin” untuk mengungkapkan arti yang sebenarnya dari Kebenaran Sejati, Kesunyataan atau Nibbana itu.

Bahasa diciptakan dan dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan dengan kata-kata, sesuatu tentang benda-benda dan ide-ide yang pernah dialami sendiri melalui keenam indria mereka. Pengalaman “halus luar biasa” seperti mengalami Kebenaran Sejati tidaklah dapat digolongkan sebagai pengalaman biasa.

Dari itu, tidak terdapat kata-kata untuk mengutarakan pengalaman seperti itu, seperti juga seekor ikan tidak memiliki kata-kata untuk mengutarakan ujud tanah dataran. Seekor kura-kura memberitahukan kawannya, seekor ikan, bahwa ia kembali ke telaga sesudah berjalan-jalan di tanah datar. “Tentu saja”, si ikan menjawab, “engkau maksudkan berenang.” Si kura-kura mencoba menerangkan bahwa ia tidak dapat berenang di tanah dataran yang padat melainkan harus berjalan di atas tanah tersebut. Tetapi ikan itu kukuh dengan pendapatnya bahwa hal itu tidak mungkin, sebab menurut hematnya dunia ini terdiri dari air seperti telaga yang didiaminya dan makhluk-makhluk harus dapat menyelam dan berenang di dalamnya.

Kata-kata merupakan lambang yang mewakili benda-benda dan bentuk-bentuk pikiran yang kita kenal, dan lambang-lambang ini tidak mungkin dapat mengungkapkan hakekat sesungguhnya dari benda atau bentuk pikiran, meskipun dari yang paling sederhana. Untuk memahami dengan baik Kesunyataan, kata-kata bahkan dapat dianggap menyesatkan dan mengacaukan. Dalam Lankavatara-Sutra dapat kita baca bahwa orang bodohlah yang membenamkan diri dalam kata-kata seperti seekor gajah di dalam lumpur.

Biarpun begitu, kita tetap memerlukan bahasa dan kata-kata. Tetapi, kalau kita mau mengungkapkan dan menerangkan Nibbana dengan kata-kata, kita berkecenderungan untuk memakai istilah-istilah yang justru mempunyai arti sebaliknya. Dari itu Nibbana seringkali diutarakan dalam istilah negatif, yang mungkin dianggap sebagai kurang berbahaya, misalnya seperti Tanhakkhaya (Padamnya nafsu keinginan), Asankhata (Tidak berkondisi), Viraga (Hapusnya keinginan), Nirodha (Terhentinya atau akhir dukkha), Nibbana (Padamnya keinginan).

Sekarang, marilah kita tinjau beberapa definisi tentang Nibbana yang terdapat dalam kitab Tipitaka Pali.
“Nibbana ialah terhentinya tanha secara total, melepaskan diri, menolak, terbebas dan terlepas dari tanha.”
“Pudarnya benda-benda yang tercipta, terbebas dari semua noda dan kekotoran batin, padamnya nafsu keinginan, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana.”
“O bhikkhu, apakah “Yang Tidak Tercipta” (asankhata) itu? Itu adalah, padamnya hawa nafsu (ragakkhayo), padamnya kebencian (dosakkhayo) dan padamnya kebodohan (mohakkhayo). Itulah, O bhikkhu yang disebut “Yang Tidak Tercipta”.
“O Radha, padamnya tanha adalah Nibbana.”
“O bhikkhu, di antara benda apa pun juga, yang tercipta maupun yang tidak tercipta, maka Viraga (sikap yang tidak terpengaruh) adalah yang paling tinggi. Itu berarti bebas dari kesombongan, menghancurkan kehausan, membasmi ikatan-ikatan, memutuskan kelangsungan, padamnya tanha, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana.”

Jawaban dari Ayasma Sariputta, siswa utama Sang Buddha, atas pertanyaan dari Parivrajaka tentang “Apakah Nibbana?” adalah sama dengan definisi dari Asankhata yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri yaitu: “Padamnya hawa nafsu, padamnya kebencian, padamnya kebodohan”.

“Penglepasan dan pelenyapan nafsu keinginan dan kemelekatan kepada Lima Kelompok Kegemaran inilah akhir dari dukkha.”

“Penghentian kelangsungan dan tumimbal-lahir (Bhavanirodha) adalah Nibbana.”

“O bhikkhu, ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta. Kalau tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta, maka tidak ada kemungkinan untuk terbebas dari yang dilahirkan, yang bertumbuh dan yang tercipta. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta, maka ada kemungkinan untuk terbebas dari yang dilahirkan, yang bertumbuh dan yang tercipta. Di sini benda padat, benda cair, panas dan gerak (mahabhuta) tidak mempunyai tempat: pengertian tentang panjang dan lebar, tentang kecil dan besar, tentang baik dan buruk, tentang nama dan rupa, semuanya telah dihancurkan; dan tidak dapat ditemukan lagi dunia ini atau dunia yang lain, yang datang, berjalan atau berdiri, kematian atau kelahiran dan semua obyek-obyek indria.” (Udana VIII: 1-3)

Karena Nibbana selalu digambarkan dengan istilah-istilah negatif, maka banyak orang yang salah paham bahwa Nibbana itu negatif dan mencerminkan penghancuran diri. Nibbana dengan tegas dinyatakan bukan penghancuran diri, sebab memang tidak ada “diri” yang harus dihancurkan. Yang harus dihancurkan sebenarnya pandangan yang menyesatkan tentang adanya “diri” itu sendiri.

Juga tidak dapat dibenarkan mengatakan Nibbana sebagai positif. Pemikiran negatif dan positif adalah relatif dan menggambarkan satu keadaan yang dualistis. Kedua istilah ini tentu saja tidak dapat dipakai untuk menerangkan Nibbana, Kesunyataan Mutlak, yang berada di luar hal-hal yang dualistis dan relatif.

Satu kata yang negatif bukan secara mutlak harus menggambarkan satu keadaan yang negatif pula. Misalnya kata Pali atau Sansekerta untuk sehat adalah arogya, yang berarti tidak sakit. Tetapi arogya (sehat) tidak menggambarkan satu keadaan yang negatif. Kata abadi (Pali, Amata; Skrt. Amrta), sinonim untuk Nibbana, juga sebuah kata negatif, namun tidak menggambarkan satu keadaan yang negatif.

Satu sinonim lain yang terkenal untuk Nibbana adalah mutti (kebebasan). Tak seorang pun akan berkata bahwa kebebasan adalah negatif. Namun, kebebasan pun mempunyai segi negatif; kebebasan selalu berarti memerdekakan diri dari satu penindasan, dari sesuatu yang jahat, dari sesuatu yang negatif. Tetapi kebebasan jelas tidak negatif. Dengan demikian Nibbana, Mutti atau Vimutti, Kebebasan Mutlak adalah kebebasan dari semua bentuk kejahatan, kebebasan dari keinginan yang tidak habis-habisnya, dari kebencian dan kebodohan, kebebasan dari sesuatu yang bersifat dualistis dan relatif, dan kebebasan dari waktu dan tempat.

Marilah sekarang kita meninjau penjelasan tentang Nibbana sebagai Kesunyataan Mutlak dalam Dhatuvibhanga-Sutta (No. 140 dari Majjhima-Nikaya). Sutta yang sangat penting ini dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada Pukkusati (yang kita sudah kenal) pada suatu malam yang sunyi di pondok seorang pembuat guci tanah liat, yang oleh Sang Guru dipandang sebagai orang yang cerdik dan berkermauan keras. Intisari sutta tersebut adalah sbb.:

Seorang manusia terdiri dari enam unsur: padat, cair, panas, gerak, ruang dan kesadaran. Setelah kita menganalisa enam unsur tersebut, maka kita harus menarik kesimpulan bahwa tidak satu pun dari unsur-unsur di atas dapat dikatakan sebagai “kepunyaanku”, atau “aku”, atau “diriku”. Ia memahami, bagaimana kesadaran itu timbul dan kemudian lenyap kembali, bagaimana perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan netral itu timbul dan lenyap kembali. Dengan adanya pengetahuan ini lalu batinnya tidak terpengaruh lagi. Lalu, ia akan mencapai batin yang penuh keseimbangan (upekha), yang dapat diarahkan untuk mencapai satu keadaan spiritual yang tinggi, dan ia tahu bahwa keseimbangan batin yang murni ini dapat berlangsung untuk waktu yang lama. Setelah itu ia berpikir: “Kalau aku mengkonsentrasikan pikiranku yang telah mencapai keseimbangan murni ke “alam yang tak terbatas” dan mengembangkan batin yang sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan ciptaan pikiran (sankhatang). Kalau aku kemudian mengkonsentrasikan pikiranku yang mencapai keseimbangan murni ke “alam dari kesadaran yang tak terbatas” … ke “alam dari kekosongan” … atau ke “alam dari bukan-pencerapan dan juga bukan bukan-pencerapan” dan mengembangkan batin yang sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan ciptaan pikiran”.

Sesudah itu, ia tak lagi mencipta dengan pikiran, juga tak menginginkan kelangsungan dan kelahiran kembali (bhava) atau pemusnaan diri (vibhava). Karena ia tidak lagi mencipta sesuatu atau ingin kelangsungan dan kelahiran-kembali atau pemusnaan diri, ia tidak melekat pada apa pun juga di dunia ini; karena tidak melekat ia tidak lagi gelisah; karena tidak gelisah ia memperoleh ketenangan batin yang sempurna (terpadam seluruhnya – paccattang yeva parinibhiyati).

Sekarang ia tahu: “Ia sudah terbebas dari tumimbal-lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan.”

Kalau ia sekarang mengalami satu perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan atau perasaan yang netral, ia tahu bahwa itu adalah tidak kekal, dan ia tidak akan terpikat oleh perasaan itu dan perasaan itu diterimanya dengan murni tanpa disertai nafsu apa pun (visamyutto). Ia tahu bahwa semua perasaan itu baru akan berhenti bergejolak dengan hancurnya badan jasmani, seperti juga api dari sebuah lampu padam oleh karena minyak dan sumbunya habis terbakar.

“Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang diberkahi tersebut akan diberkahi pula dengan Kebijaksanaan Tertinggi, sebab pengetahuan tentang padamnya semua dukkha merupakan Kebijaksanaan Tertinggi yang mulia. Keyakinannya terhadap Kesunyataan tak dapat digoyahkan lagi. O bhikkhu, segala sesuatu yang tidak nyata adalah palsu (mosadhamma) dan segala suatu yang nyata (amosadhamma), Nibbana adalah Kesunyataan (sacca). Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang diberkahi tersebut akan diberkahi pula dengan Kesunyataan ini. Karena Kesunyataan Mulia (paramang ariyasaccang) itulah yang nyata, Nibbana.”

Pada kesempatan lain Sang Buddha menggunakan perkataan Kesunyataan sebagai pengganti dari perkataan Nibbana: “Aku akan mengajarmu Kesunyataan dan Jalan Yang Menuju Ke Kesunyataan”. Di sini Kesunyataan dengan jelas diartikan Nibbana.

Sekarang, apakah arti Kesunyataan? Menurut paham agama Buddha, merupakan Kebenaran Mutlak (Kesunyataan) bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu pun yang mutlak (absolute); segala sesuatu adalah relatif, berkondisi dan tidak kekal, dan tidak terdapat unsur yang tidak berubah, kekal dan mutlak seperti “aku”, “jiwa” atau Atman, baik di dalam maupun di luar dirinya. Inilah Kesunyataan Mulia.

Realisasi dari Kesunyataan ialah melihat benda-benda menurut keadaan yang sebenarnya (yathabhutang – to see things as they are) tanpa khayalan (ilusi) atau avijja (kebodohan) sehingga tanha dapat terkikis habis dan dukkha dapat dilenyapkan, yang berarti Nibbana.

Dalam hubungan ini, menarik sekali dan juga berguna untuk kita ingat kembali pandangan agama Buddha aliran Mahayana bahwa Nirvana tidaklah berbeda dari Samsara. Samsara dan Nirvana adalah sama dan tergantung pada cara kita memandangnya, secara subyektif atau obyektif. Pandangan aliran Mahayana ini mungkin dikembangkan dari pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam kitab Theravada asli dalam bahasa Pali.

Kuranglah tepat untuk mengatakan bahwa Nibbana adalah hasil dari padamnya nafsu keinginan karena Nibbana bukan merupakan hasil dari sesuatu. Kalau sekiranya ia merupakan hasil, maka itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh satu sebab. Dalam hal ini, ia akan menjadi sankhata, yaitu dihasilkan dan diciptakan, padahal Nibbana bukanlah sebab maupun akibat. Ia berada di luar / di atas sebab dan akibat. Kesunyataan bukanlah merupakan hasil dari satu keadaan mistik, spiritual atau keadaan mental seperti dhayana atau samadhi. Kesunyataan adalah sama dengan Nibbana (Trurt is, Nibbana is).

Yang dapat Anda lakukan ialah untuk melihatnya dan untuk merealisasinya (to see and to realize it). Memang terdapat jalan yang menuju ke Nibbana, namun Nibbana bukanlah hasil dari jalan itu. Misalnya Anda dapat mencapai puncak gunung dengan melalui sebuah jalan, namun jelas kiranya bahwa puncak gunung itu bukanlah hasil dari jalan tersebut. Demikian pula kalau anda melihat api. Api itu juga jelas bukan hasil dari bekerjanya indria mata Anda.

Orang sering berkata : “Ada apakah setelah Nibbana?” Pertanyaan ini sebenarnya tidak boleh timbul karena Nibbana merupakan Kesunyataan Terakhir. Karena ia merupakan yang terakhir maka setelah itu tak mungkin akan ada apa-apa lagi.

Seorang bhikkhu bernama Radha telah mengajukan pertanyaan ini kepada Sang Budha dalam bentuk lain : “Untuk tujuan apakah Nibbana itu?” Dalam pertanyaan ini terdapat satu konsepsi tentang adanya sesuatu setelah Nibbana. Oleh karena itu, Sang Buddha menjawab : “O Radha, pertanyaanmu tidak relevan. Orang menuntut kehidupan suci dengan Nibbana sebagai tujuan, sebagai tujuan yang terakhir.” (Samyutta Nikaya III : 187).

Juga istilah populer tetapi kurang tepat seperti “Sang Buddha memasuki Nibbana atau Parinibbana setelah Beliau mangkat” banyak menimbulkan pemikiran yang salah tentang Nibbana. Pada waktu Anda mendengar “Sang Buddha memasuki Nibbana atau Parinibbana” Anda tentu menganggap bahwa Nibbana merupakan sorga atau alam, di mana masih terdapat kehidupan dan Anda akan membayang-bayangkannya dalam rangka tata-bahasa yang Anda kenal di dunia ini.

Sebutulnya pepatah “Memasuki Nibbana” yang populer itu tidak dapat ditemukan dalam teks yang asli. Dalam kitab Tipitaka memang tidak terdapat ungkapan seperti “memasuki Nibbana setelah meninggal dunia”. Di sini hanya terdapat istilah Parinibbuto yang dipakai untuk mengisyaratkan mangkatnya seorang Buddha atau Arahat yang telah merealisasi Nibbana, tetapi ini bukan berarti “memasuki Nibbana”. Parinibhuto hanya berarti “meninggal dunia secara sempurna”, “seluruhnya tertiup habis” atau “padam seluruhnya”; seorang Buddha atau seorang Arahat tidak akan bertumimbal-lahir lagi setelah mengangkat.

Sekarang sebuah pertanyaan lain dapat timbul: Apa yang terjadi setelah seorang Buddha atau seorang Arahat mangkat, Parinibbana? Ini termasuk dalam kelompok pertanyaan yang tidak dapat dijawab (avyakata). Ketika Sang Buddha berbicara mengenai hal ini, Beliau mengatakan dengan jelas bahwa tidak terdapat kata-kata dalam tata-bahasa kita yang dapat menerangkan apa yang sebenarnya terjadi setelah seorang Arahat mangkat.

Menjawab pertanyaan seorang Parivrajaka bernama Vacchagotta, Sang Buddha berkata bahwa istilah “dilahirkan” atau “tidak-dilahirkan” tidak dapat dipakai terhadap seorang Arahat karena perkataan seperti benda, perasaan, pencerapan, kegiatan pikiran, kesadaran, yang berhubungan dengan istilah “dilahirkan” atau “tidak-dilahirkan” telah dihancurluluhkan sampai ke akar-akarnya dan tidak akan timbul lagi setelah Beliau mangkat (Majjhima Nikaya 62, Aggi-Vacchagotta-Sutta).

Seorang Arahat setelah mangkat seringkali diumpamakan sebagai api yang padam kalau bahan kayunya / bakarnya telah habis terbakar atau sebagai api dari sebuah lampu yang padam karena sumbu dan minyaknya habis terbakar.

Untuk memperoleh pengertian yang jelas dan tepat dan untuk menjaga agar kita jangan bingung, maka apa yang diumpamakan sebagai api yang padam bukanlah Nibbana tetapi makhluk yang terdiri dari Lima Khanda yang telah merealisasi Nibbana.

Hal ini perlu ditekankan kembali secara khusus karena ternyata masih banyak sarjana terkenal yang masih saja menyalah artikan dan menyalah tafsirkan perumpamaan tersebut di atas. Nibbana tidak pernah diumpamakan sebagai api atau lampu yang telah padam.

Ada lagi pertanyaan yang seringkali diajukan: Kalau tidak ada Diri, Jiwa atau Atma, siapa sebenarnya yang menyelami (merealisasi) Nibbana?

Sebelum melanjutkan uraian tentang Nibbana, marilah kita coba dulu menjawab pertanyaan ini: Siapa gerangan yang berpikir kalau tidak ada Diri atau Atma?

Kita telah melihat dari uraian di halaman depan, bahwa pikiran itu sendirilah yang berpikir dan tidak ada “diri” yang berdiri di belakang pikiran tersebut.

Dalam hal yang sama, maka Panna atau “kebijaksanaan” pengalamanlah yang menyelami (merealisasi). Tidak ada diri yang lain yang berdiri di belakang penyelaman (realization) itu.

Dalam perbincangan kita tentang sebab dari dukkha, kita telah melihat bahwa di dalam makhluk, benda atau sistem apa pun juga yang mengandung kekuatan untuk menimbulkannya (menciptakannya) terdapat juga kekuatan atau bibit yang dapat menghentikan dan menghancurkannya. Di dalam dukkha, samsara (roda tumimbal lahir), terkandung kekuatan untuk menimbulkan dan karena itu juga terdapat kekuatan untuk menghentikannya.

Dukkha disebabkan oleh tanha dan ia terhenti oleh pañña (kebijaksanaan). Tanha dan pañña kedua-duanya terdapat di dalam Lima Kelompok Kegemaran (Lima Khandha) seperti yang kita lihat pada bagian sebelumnya.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa bibit atau kekuatan yang menimbulkan dan yang kemudian dapat menghentikannya, kedua-duanya ada di dalam Lima Kelompok Kegemaran.

Inilah arti sebenarnya dari pernyataan Sang Buddha yang terkenal: “Di dalam badan jasmani itu sendiri yang tidak seberapa jengkal besarnya, Aku melihat dunia ini, timbulnya dunia ini, terhentinya dunia ini dan jalan yang menuju ke terhentinya dunia ini.” (Anguttara Nikaya II:48).

Hal di atas berarti bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu seutuhnya dapat ditemukan di dalam Lima Kelompok Kegemaran, yaitu di dalam diri kita sendiri. Di sini kata dunia / alam (loka) dipakai sebagai kiasan dari dukkha.

Ini pula berarti tidak terdapat kekuatan di luar badan jasmani kita yang dapat mengakibatkan timbulnya dan terhentinya dukkha.

Kalau kebijaksanaan dikembangkan dan dilatih sesuai dengan Empat Kesunyataan Mulia, maka ia akan dapat melihat rahasia dari kehidupan, yaitu keadaan benda-benda dalam wujudnya yang sebenarnya (the reality of things as they are). Kalau rahasianya telah ditemukan, apabila Kesunyataan telah dapat dilihat, semua kekuatan yang dengan suburnya dapat menciptakan kelanjutan dari samsara akan menjadi tenang dan tak mampu lagi menciptakan benih-benih kamma lebih lanjut sebab tidak lagi terdapat avijja (ketidaktahuan, kebodohan) dan tidak ada lagi “kehausan” untuk tetap berlangsung. Seperti juga orang yang sakit mental dan kemudian dapat disembuhkan karena sebab dari penyakitnya dapat ditemukan dan dilihat oleh si penderita.

Hampir di semua agama “Summum Bonum” hanya dapat dicapai setelah orang meninggal dunia; tetapi Nibbana dapat direalisasi dalam kehidupan ini juga dan orang tidak usah menunggu sampai ia meninggal dunia.

Orang yang berhasil merealisasi (menyelami) Kesunyataan, Nibbana, adalah orang yang paling bahagia dalam dunia ini. Ia telah terbebas dari semua keruwetan dan gangguan pikiran, ketakutan, kekesalan dan kekecewaan yang menyiksa orang lain. Kesehatan mentalnya sempurna. Ia tidak menghiraukan apa yang akan datang. Ia hidup sepenuhnya pada saat sekarang.

Dari itu ia menghargai dan menikmati benda-benda dalam arti semurni-murninya tanpa konsepsi tentang “Sang Aku” Ia penuh kegembiraan, menikmati penghidupan suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari kegelisahan, tenang dan penuh kedamaian.

Karena ia terbebas dari keinginan yang mementingkan diri sendiri, dari kebencian, kebodohan, kesombongan, tinggi hati dan kekotoran batin lainnya; ia menjadi orang yang mempunyai hati bersih dan lemah lembut, penuh dengan cinta-kasih yang universal, belas kasihan, ramah-tamah, penuh pengertian dan toleransi.

Bantuan yang diberikan kepada orang lain dilakukan dengan hati yang tulus dan bersih karena ia tidak lagi berpikir dalam rangka “Sang Aku”. Ia tidak ingin memiliki apa-apa, ia tidak menimbun apa-apa sekalipun yang ada hubungannya dengan hal-hal spiritual karena ia sudah terbebas dari ilusi tentang adanya “Sang Aku” dan terbebas pula dari kehausan untuk bertumimbal-lahir kembali.

Nibbana berada di luar istilah yang dualistis dan relatif; oleh karena itu, ia di luar konsepsi kita tentang baik dan buruk, benar atau salah, hidup dan tidak-hidup. Bahkan, perkataan sukha (kebahagiaan) yang dipakai untuk menggambarkan Nibbana mempunyai arti yang lain. Sariputta pernah berkata “O sahabat, Nibbana itulah sukha (kebahagiaan)! Nibbana itulah sukha!”

Kemudian Udayi bertanya: “Tetapi, sahabat Sariputta, kebahagiaan yang bagaimanakah yang anda maksudkan, kalau sudah tidak ada perasaan?” Sariputta memberi jawaban yang mengandung filsafat tinggi dan sulit dimengerti oleh orang awam: “Justru tanpa perasaan itulah kebahagiaan.” (Anguttara Nikaya IX: 34)

Nibbana berada di luar logika dan akal manusia (atakkavacara). Seorang anak di taman kanak-kanak tidak akan bertengkar tentang teori relativitas. Sebaliknya, kalau ia tekun dan rajin belajar, pada suatu hari ia akan memahaminya dengan sendirinya.

Nibbana harus diselami (direalisasi) oleh para arif bijaksana di dalam diri masing-masing (paccattang veditabbo viññuhiti). Kalau kita melaksanakan “Jalan” dengan sabar, rajin dan ulet, melatih dan membersihkan diri dengan tekun dan memperoleh tingkatan spiritual yang diperlukan, kita pun pada suatu hari dapat merealisasi Nibbana, tanpa membuat otak kita pusing dengan kata-kata yang muluk dan penuh teka-teki.

Sekarang, marilah kita meningkat untuk membahas “Jalan” yang menuju ke realisasi Nibbana.


D.   Kesunyataan tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dhukka.
Kesunyataan Mulia Keempat ialah Jalan yang menuju ke Terhentinya Dukkha (Dukkha nirodha gaminipatipada-Ariyasacca). Ia juga dikenal dengan nama “Jalan Tengah” (Majjhima-Patipada), karena ia menghindari dua hal yang ekstrim, yaitu:
  1. mencari kebahagiaan dengan menuruti nafsu-nafsu indria, yang dianggap rendah, biasa, tidak berfaedah dan cara-cara dari orang biasa.
  2. mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dalam berbagai cara, yang menyakiti sekali, tidak berharga, dan tidak berfaedah
Sang Bodhisatva sendiri telah mencoba kedua hal ekstrim tersebut dan akhirnya menyadari bahwa itu tidak berguna; maka melalui pengalamannya sendiri Beliau menemukan Jalan Tengah yang dapat menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa Beliau ke Pandangan Terang, Penerangan Agung, Nibbana.
Jalan Tengah ini juga sering disebut sebagai Delapan Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga) karena ia terdiri dari delapan bagian:
1.
Samma Ditthi
Pengertian Benar
2.
Samma Sankappa
Pikiran Benar
3.
Samma Vaca
Ucapan Benar
4.
Samma Kammanta
Perbuatan Benar
5.
Samma Ajiva
Penghidupan Benar
6.
Samma Vayama
Daya Upaya Benar
7.
Samma Sati
Perhatian Benar
8.
Samma Samadhi
Konsentrasi Benar
Pada hakekatnya seluruh ajaran Sang Buddha yang Beliau sendiri siarkan selama empat puluh lima tahun sedikit banyak ada hubungannya dengan Jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara dan dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti, kepada beraneka ragam orang dengan tingkatan pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda-beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-kitab suci Buddhis membahas Delapan Jalan Utama ini.
Tetapi, harap jangan disalahtafsirkan, bahwa Jalan ini harus dilaksanakan menurut nomor urut daftar tersebut di atas. Sedikit banyak mereka harus dikembangkan bersama-sama, yang tentu saja tergantung pada keadaan dan kesanggupan dari tiap-tiap orang. Bagian-bagian itu sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling mengisi.
Delapan Jalan Utama ini bertujuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan tiga persoalan pokok dalam latihan dan disiplin seorang Buddhis, yaitu :
1.
Sila
tata hidup yang bersusila
2.
Samadhi
disiplin mental
3.
Pañña
kebijaksanaan luhur.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih baik serta pengertian yang lebih mendalam tentang Delapan Jalan Utama tersebut, maka pembahasannya akan dilakukan sesuai dengan tiga kelompok di atas.


  1. Sila
Sila mempunyai dasar permikiran cinta kasih universal dan belas kasihan terhadap semua makhluk hidup, yang juga menjadi dasar ajaran Sang Buddha. Karena itu harus disesalkan bahwa cita-cita serta pemikiran yang luhur ini sering dilupakan oleh banyak ilmuwan (penulis) yang hanya menulis tentang agama Buddha yang berhubungan dengan filsafat dan metafisika yang tinggi dan kering.
Ajaran Sang Buddha sebenarnya “untuk kepentingan orang banyak” dan “untuk kebahagiaan orang banyak” yang tercetus keluar dalam perasaan cinta kasih dan belas kasihan yang murni terhadap dunia ini serta seluruh isinya (Bahujanahitaya bahujanakhaya lokanukampaya).
Menurut agama Buddha, untuk memperoleh kesempurnaan hidup, dua sifat luhur harus dikembangkan secara bersamaan, yaitu :
a.       metta-karuna (cinta kasih-belas kasihan)
b.      pañña (kebijaksanaan)
Metta-karuna mencakup cinta kasih, suka beramal, ramah tamah, toleransi dan sifat-sifat luhur lainnya yang ada hubungannya dengan perasaan (emosi) atau sifat-sifat yang timbul dari hati, sedangkan pañña ada hubungan dengan intelek (kecerdasan) atau sifat-sifiat yang timbul dari pikiran.
Kalau orang hanya mengembangkan segi perasaannya saja dengan mengabaikan segi inteleknya (kecerdasannya), maka orang ini kelak akan menjadi seorang edan yang baik hati. Sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan segi inteleknya dengan mengabaikan segi perasaannya, maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang “berhati batu” dan tidak mempunyai perasaan kasihan sedikit pun terhadap orang lain. Oleh karena itu, untuk memperoleh kesempurnaan hidup orang harus mengembangkan sifat-sifat yang tersebut di atas secara berbarengan.
Inilah tujuan dari “way of life” seorang Buddhis: yaitu, kebijaksanaan dan cinta kasih belas kasihan berpadu secara harmonis dalam satu kesatuan yang utuh.
Sila yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasihan meliputi tiga bagian dari Delapan Jalan Utama, yaitu:
¾    No. 3 Ucapan Benar
¾    No. 4 Perbuatan Benar
¾    No. 5 Penghidupan Benar
Ucapan Benar
Dapat digolongkan sebagai Ucapan Benar, jika empat syarat di bawah ini dipenuhi :
1.      ucapan itu benar
2.      ucapan itu belarasan
3.      ucapan itu berfaedah
4.      ucapan itu tepat pada waktunya (Majjhima Nikaya 58)
Ini berarti membebaskan diri dari:
a.       kata-kata yang tidak benar (berdusta)
b.      kata-kata yang dapat menimbulkan kebencian, perpecahan dan perselisihan di antara perorangan atau golongan
c.       kata-kata cabul dan kasar yang menyakiti hati orang lain
d.      kata-kata yang kosong dan tidak ada artinya, desas-desus dan berbicara tentang keburukan orang lain.
Kalau orang dapat membebaskan diri dari kata-kata dan pembicaraan yang salah dan tidak baik, orang tentu akan bicara tentang hal-hal yang benar, memakai kata-kata yang manis dan bersahabat, enak didengar dan lemah lembut, yang mempunyai arti dan berguna. Dengan demikian ia tidak akan bicara seenaknya saja dan hanya bicara pada saat yang tepat. Jadi, kalau ia tidak dapat mengutarakan sesuatu yang berguna, dengan sendirinya ia akan membisu dalam seribu bahasa.
Perbuatan Benar
Ini bertujuan untuk mengembangkan perbuatan-perbuatan yang bersusila, terhormat dan menjauhkan diri dari keributan-keributan. Hal ini berarti bahwa ia tak akan membunuh, mencuri, melakukan perbuatan yang tercela, melakukan perzinahan dan ia senantiasa bersedia untuk menolong orang lain agar dapat juga menjalani kehidupan yang tenang, bersih, terhormat dan dengan cara yang benar.
Penghidupan Benar
Ini berarti bahwa orang seharusnya mempunyai penghidupan yang tidak mencelakakan atau merugikan orang lain.
Lima pencaharian salah harus dihindari (M. 117), yaitu:
1.      penipuan
2.      ketidaksetiaan
3.      penujuman
4.      kecurangan
5.      memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)

Di samping itu seorang siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan, yaitu :
1.      berdagang alat senjata
2.      berdagang mahluk hidup
3.      berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup)
4.      berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan
5.      berdagang racun
Sebaiknya, ia memilih satu usaha atau pekerjaan yang terhormat, tidak merugikan orang lain dan tidak mencelakakan atau menyakiti orang/makhluk lain. Dari sini dapat kita lihat bahwa agama Buddha menentang tiap bentuk peperangan dengan tidak membenarkan perdagangan alat-alat perang dan senjata tajam.
Tiga bagian dari Delapan Jalan Utama ini dapat digolongkan dalam perbuatan yang bersusila. Hendaknya disadari bahwa Sila ini bertujuan untuk memperoleh satu penghidupan yang bahagia dan harmonis untuk orang itu sendiri dan juga untuk masyarakat ramai di sekelilingnya. Sila ini dianggap sebagai dasar yang mutlak harus dikembangkan untuk memperoleh hasil batiniah yang tinggi dan perkembangan batiniah tidaklah mungkin tanpa Sila sebagai dasar.
  1. Samadhi
Sekarang kita akan membahas disiplin mental yang terdiri dari tiga bagian lain dari Delapan Jalan Utama, yaitu:
¾    Daya Upaya Benar
¾    Perhatian Benar
¾    Konsentrasi Benar
Daya Upaya Benar
Ini berarti pengerahan kekuatan kemauan untuk:
1.      dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan tidak baik di dalam batin
2.      dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam batin
3.      dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur baik dan sehat di dalam batin
4.      berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam batin.
Perhatian Benar
Perhatian Benar ini terdiri dari latihan-latihan Vipassana-Bhavana (meditasi untuk memperoleh pandangan terang tentang hidup), yaitu :
1.      Kaya-nupassana – Perenungan terhadap tubuh
2.      Vedana-nupassana – Perenungan terhadap perasaan
3.      Citta-nupassana – Perenungan terhadap keadaan batin
4.      Dhamma-nupassana – Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran
Salah satu cara latihan terkenal yang berhubungan dengan badan jasmani ialah mengkonsentrasikan pikiran terhadap pernapasan (Anapanasati), yang bertujuan untuk mendapatkan kemajuan spiritual. Masih terdapat banyak lagi cara yang dipakai dalam melakukan latihan konsentrasi yang berhubungan dengan badan jasmani kita.
Mengenai perasaan, seseorang harus mengamat-amatinya dengan cermat dan benar-benar sadar terhadap semua bentuk perasaan, yang menyenangkan, yang tidak-menyenangkan dan yang netral, dan sadar pula bagaimana ia muncul dan kemudian lenyap kembali.
Mengenai keadaan batin, hendaknya ia selalu waspada, apakah pikirannya penuh dengan hawa nafsu atau tidak, penuh dengan kebencian atau tidak, gelisah atau tidak, sedang melamun atau terkonsentrasi, dst.. Dengan ini ia akan selalu waspada terhadap semua gerak gerik pikirannya dan juga bagaimana ia timbul dan lenyap kembali.
Mengenai ide-ide, pikiran, konsepsi-konsepsi dan benda-benda, ia hendaknya dapat mengetahui dengan terang keadaannya yang sebenarnya, bagaimana ia timbul dan lenyap, bagaimana ia berkembang, bagaimana ia dapat ditekan, bagaimana ia dapat dihancurkan, dst…
Keempat cara meditasi atau latihan mental ini dibahas panjang lebar dalam Satipatthana-Sutta (Majjhima Nikaya 10) dan Maha-Satipatthana-Sutta (Digha Nikaya 22).
Konsentrasi Benar
Bagian ketiga dan yang terakhir dari Samadhi ini ialah Konsentrasi Benar yang dapat membawa orang kepada empat tingkatan Dhyana (Jhana) atau yang umum dikenal sebagai trance atau recueillement
Pada Dhyana/Jhana tingkat ke satu, keinginan hawa nafsu dan pikiran-pikiran tertentu yang tidak sehat seperti keinginan indria-indria, keinginan jahat (ill-will), keruwetan pikiran, kesal, gelisah dan keragu-raguan yang skeptis telah lenyap, dan perasaan gembira dan bahagia dicapai, bersama-sama dengan aktivitas-aktivitas mental tertentu.
Pada Dhyana/Jhana tingkat kedua, semua aktivitas intelek telah dikekang, keseimbangan batin dan pikiran yang menunggal dikembangkan, sedangkan perasaan gembira dan bahagia masih ada.
Pada Dhyana/Jhana tingkat ketiga, perasaan gembira yang merupakan perasaan yang aktif juga lenyap, tetapi kebahagiaan masih ada di samping batin yang penuh keseimbangan.
Pada Dhyana/Jhana tingkat ke empat, semua perasaan yang bahagia maupun yang tidak bahagia, kegembiraan dan kesedihan telah lenyap; hanya keseimbangan dan kesadaran murni yang masih tertinggal.
Demikianlah pikiran itu dilatih, dikekang dan dikembangkan dengan Daya Upaya Benar, Perhatian Benar dan Konsentrasi Benar.
  1. Panna
Dua bagian yang masih tersisa, merupakan bagian-bagian dari Pañña (Kebijaksanaan Luhur). yakni:
¾    Pengertian Benar
¾    Pikiran Benar
Pikiran Benar
Ini berarti pikiran yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak terpengaruh lagi oleh “Sang Aku”, pikiran cinta kasih dan tanpa-kekerasan kepada semua makhluk. Sangat menarik hati dan penting untuk ditekankan di sini bahwa pikiran yang tidak mementingkan diri sendiri, cinta kasih dan tanpa-kekerasan digolongkan sebagai bagian dari kebijaksanaan. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Kebijaksanaan sejati harus disertai sifat-sifat luhur ini dan sumua pikiran yang mementingkan diri sendiri, pikiran jahat, kebencian dan segala sesuatu yang mengandung sifat kekerasan, merupakan bukti-bukti tentang masih kurangnya Kebijaksanaan di dalam semua segi kehidupan, baik sebagai perorangan, dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik.
Pengertian Benar
Ini berarti bahwa kita harus mengerti benda-benda menurut keadaan yang sebenarnya dan Empat Kesunyataan Mulia inilah yang menerangkan benda-benda menurut keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, Pengertian Benar secara singkat dapat diartikan sebagai pengertian tentang Empat Kesunyataan Mulia ini. Pengertian ini merupakan kebijaksanaan tertinggi yang dapat menembus arti dan melihat secara terang Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
Menurut paham Buddhis, terdapat dua jenis pengertian. Apa yang umum anggap sebagai pengertian ialah pengetahuan, timbunan dari ingatan, pemahaman secara intelek akan sebuah pokok persoalan sesuai dengan data tertentu. Hal ini disebut sebagai Anubodha. Pengertian ini tidak begitu mendalam.
Pengertian yang lebih mendalam disebut Pativedha (menembus), melihat benda-benda dalam keadaan yang sebenarnya, tanpa nama dan merek. Tetapi penembusan ini hanya dimungkinkan, apabila pikiran benar-benar bersih dari noda-noda dan dikembangkan dengan sempurna melalui meditasi.


BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas dapat kita lihat bahwa Jalan itu merupakan “way of life” yang harus dilaksanakan dan dikembangkan oleh setiap individu. Ia merupakan pengekangan-diri (self-discipline) dari badan jasmani, dari ucapan dan dari pikiran, mengembangkan dan melatih diri, dan membersihkan diri. Ia tidak ada sangkut pautnya dengan kepercayaan, sembahyang, memuja atau upacara keagamaan. Ia merupakan Jalan yang menuju ke Kesunyataan Mutlak, kebebasan sempurna, kebahagiaan dan kedamaian hati melalui kesempurnaan moral, spiritual dan intelektual.
Di negara-negara Buddhis masih banyak dilakukan upacara-upacara keagamaan yang sewaktu-waktu sederhana dan sewaktu-waktu megah. Hal ini hanya sedikit sangkut pautnya dengan Jalan Yang Mulia ini. Tetapi ada juga kegunaannya, yaitu memberi kepuasan kepada emosi-emosi keagamaan tertentu dan kebutuhan spiritual dari mereka yang masih belum maju, untuk kemudian dengan perlahan-lahan dibimbing ke Jalan yang benar.
Berhubung dengan Empat Kesunyataan Mulia ini kita harus melakukan empat tugas:
  1. Kesunyataan Mulia Pertama ialah Dukkha, yang membahas mengenai penghidupan seseorang, penderitaannya, kesedihan dan kegembiraannya, ketidaksempurnaan dan ketidakpuasannya, ketidakkekalannya dan kenyataan bahwa tidak terdapatnya satu inti yang kekal abadi. Berhubung dengan keadaan ini tugas kita ialah mengerti dan menerimanya sebagai fakta yang jelas dan menyeluruh (Pariññeyya).
  2. Kesunyataan Mulia kedua ialah tentang Sumber Dukkha, yang berupa keinginan, kehausan disertai dengan semua nafsu-nafsu yang lain, noda-noda serta kekotoran-kekotoran batin. Mengerti saja fakta ini tidaklah cukup. Di sini tugas kita ialah menyingkirkan, menghancurkan dan mencabut sampai ke akar-akarnya (Pahatabba).
  3. Kesunyataan Mulia Ketiga ialah tentang Terhentinya Dukkha, Nibbana, Kesunyataan Mutlak, Kesunyataan Terakhir. Di sini tugas kita ialah untuk merealisasinya, menyelaminya (Sacchikatabba).
  4. Kesunyataan Mulia keempat ialah tentang Jalan yang menuju ke terhentinya dukkha, Nibbana. Pengertian belaka dari Jalan ini, biarpun bagaimana sempurna, tidak akan berguna. Tugas kita di sini ialah melaksanakannya dengan baik dan konsekwen (Bhavetabba).





















Sumber Referensi :

3.      http://wikipedia.co.id



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers