BAB
I
PENDAHULUAN
Telah
kita ketahui bersama bahwa inti dari ajaran Sang Buddha , yaitu mengatasi
masalah ketidak bahagiaan manusia melalui jalan spiritual. Ketidakbahagiaan
yang dialami oleh umat manusia ini dapat dipahami serta dituntaskan melalui
ajaran Buddha yang dikenal dengan sebutan Empat Kebenaran Ariya atau Empat
Kesunyataan Mulia. Ajaran mengenai Empat Kebenaran Ariya ini pertama kali
dibabarkan oleh Buddha pada tahun 528 Sebelum Masehi di Taman Rusa di Sarnat,
dekat Varanasi.
Ajaran
mengenai Empat Kesunyataan Mulia ingin menjelaskan kepada kita bahwa kita harus
payah menjalani kitaran panjang ini dikarenakan oleh ketidaktahuan,
ketidakmampuan kita menembus pemahaman empat kebenaran. Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia
ini, kebenaran itu akan tetap ada dan berlaku secara universal.
Empat kebenaran Ariya tersebut akan dibahas pada makalah
ini di bab selanjutnya. Secara ringkas Empat Kebenaran Ariya berisi tentang
kebenaran yang diantaranya adalah kebenaran tentang Dhukka, kebenaran tentang
penyebab Dhukka, kebenaran tentang lenyapnya Dhukka, dan kebenaran tentang 8
jalan kebenaran menuju lenyapnya Dhukka tersebut. Masing-masing kebenaran ini memiliki tiga aspek sehingga
seluruhnya terdiri dari dua belas insight. Arahat dalam aliran Theravada adalah
orang yang telah sempurna, orang yang sudah memahami dengan jelas Empat
Kebenaran Ariya beserta tiga aspek dan dua belas pengetahuannya. ‘Arahat’
berarti seorang manusia yang telah tembus-memahami kebenaran; terutama ajaran
mengenai Empat Kebenaran Arya.
BAB II
ISI
Empat Kebenaran Mulia (Pali
: cattāri ariyasaccāni) adalah kebenaran absolut atau mutlak yang berlaku bagi
siapa saja tanpa membeda-bedakan suku, ras, budaya, maupun agama. Mengakui atau
tidak mengakui, suka atau tidak suka, setiap manusia mengalami dan diliputi
oleh hukum kebenaran ini.
Empat Kebenaran Mulia
ditemukan oleh Pertapa Siddhartha yang bermeditasi di bawah Pohon Bodhi hingga
memperoleh Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Empat Kebenaran Mulia yang
ditemukan itu diajarkan oleh Buddha Gotama kepada umat manusia di bumi ini.
Muncul ataupun tidak muncul seorang Buddha di dunia ini, kebenaran itu akan
tetap ada dan berlaku secara universal.
Empat Kebenaran itu adalah:
1.
Kesunyataan tentang adanya Dukkha (Dukkha)
2.
Kesunyataan tentang sebab Dukkha (Dukkha Samudaya)
3.
Kesunyataan tentang lenyapnya Dukkha (Dukkha
Niroda)
4. Kesunyataan tentang jalan berunsur 8 menuju akhir
Dukkha (Dukkha Nirodha Gamini Patipada Magga)
A. Kesunyataan tentang
adanya Dhukka
Kesunyataan
Mulia Pertama (Dukkha Ariyasacca) pada umumnya oleh hampir semua sarjana
diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia Pertama tentang penderitaan” dan ini
menurut anggapan mereka harus diartikan bahwa menurut paham Buddhis,
penghidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan.
Terjemahan
dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak memuaskan dan dapat
menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya terjemahan yang singkat dan bebas
ini, banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis.
Di
sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan
optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang
realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia
ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala
sesuatunya dengan obyektif (jathabhutang) dan tidak menggambarkan secara keliru
dan bodoh bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan
umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal.
Agama
Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa tedeng aling-aling
tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada di sekeliling Anda dan juga
menunjukkan jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan
dan kebahagiaan.
Seorang
dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-pasien terlalu
parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi
secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali
tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit
itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya. Kita dapat menamakan dokter
yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun
kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya. Tetapi dokter yang ketiga dengan
terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari
penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan
dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat
ditolong.
Nah,
Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah
dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di
dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya-Guru).
Tidak
dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan sehari-hari berarti
“derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai lawan dari kata “sukha” yang
berarti “bahagia”, “senang” atau “gembira”‘. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai,
dalam Kesunyataan Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang
kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang lebih dalam
dan mencakup bidang yang sangat luas.
Kata
“dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita” biasa juga,
mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak sempurna”, “tidak kekal”,
“kosong”, “tanpa inti”, dll. Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata
yang dapat mencakup seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia
Pertama. Karena itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya
daripada memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita”
dan “sakit”.
Sang
Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam kehidupan.
Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk kebahagiaan, materiil maupun
spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi para bhikkhu. Dalam kitab
Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi koleksi asli dalam bahasa Pali
dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat ditemukan satu daftar dari kebahagiaan
(sukhani), misalnya kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang
pertapa, kebahagiaan getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang
menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan
kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan badaniah dan
kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua kebahagiaan yang disebut di
atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan, harus diketahui bahwa keadaan “jhana”
(yang dapat dicapai dengan melaksanakan samadhi), sehingga orang dapat
membebaskan dirinya dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam
kebahagiaan yang murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha”
dan “dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga termasuk
dalam pengertian “dukkha”.
Dalam
salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi kebahagiaan batin
yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian bersabda bahwa
kebahagiaan itu akan berubah dan tidak
kekal dan karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” (anicca dukkha
viparinama-dhamma).
Dari
contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan
jelas, bahwa “dukkha” bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti
umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” (Yad aniccang
tang dukkhang).
Sang
Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan
dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan
baik tiga hal :
i.
perasaan tertarik atau
kegembiraan (assada)
ii.
akibat yang tidak baik, atau
bahayanya, atau perasaan tidak puas (adinava)
iii.
perasaan tidak terikat
atau terbebas (nissarana).
Kalau
Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya,
Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat
bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu,
dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini
dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga
halnya dengan orang itu; dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak
kekal.
Kalau
Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu
sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan
menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak
pantas. Inilah yang dinamakan “tidak baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan”
(adinava). Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita
sehari-hari.
Kemudian
kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak
merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak terikat” dan “terbebas”
(nissaana).
Ketiga
hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan
kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas,
mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya
bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas
segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang
dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan
kita dari kesedihan dan penderitaan itu.
Dengan
demikian barulah kita dapat memahami
hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai
pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb.:
“O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.”
“O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.”
Konsep
dukkha dapat ditinjau dari tiga segi:
i.
dukkha sebagai derita
biasa (dukkha-dukkha)
ii.
dukkha sebagai akibat
dari perubahan-perubahan (viparinama-dukkha)
iii.
dukkha sebagai akibat dari
keadaan yang berkondisi (sankhara-dukkha).
Semua
jenis penderitaan dalam penghidupan seperti: dilahirkan, berusia tua, mati;
bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan
yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang yang dicintai atau keadaan yang
disenangi; tidak memperoleh sesuatu yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah,
kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap
sebagai derita dan sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa”
(dukkha-dukkha).
Suatu
perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia
dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan
perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua
ini dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan”
(viparinama-dukkha).
Mudah
sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut di atas. Tidak
seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran
umum tentang penghidupan kita sehari-hari.
Tetapi,
segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan
segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan
pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai
“orang” atau sebagai “aku” itu.
Menurut
paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “aku” hanya
merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu
dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran
(pancakkhanda).
Sang
Buddha pernah bersabda sbb.: “Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima
Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”. Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas
menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah
dukkha itu? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.”
Kita
harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kegemaran bukanlah
dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita
akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih
lanjut Lima Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa
yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha
tersebut.
1)
Khandha pertama ialah
“kegemaran kepada bentuk” (rupakkhandha). Dalam kelompok ini termasuk empat
Mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan
gerak.
Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita (mata, hidung, telinga, lidah dan badan) dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran (dhammayatana). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini.
Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita (mata, hidung, telinga, lidah dan badan) dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran (dhammayatana). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini.
2)
Khandha kedua ialah
“kegemaran kepada perasaan” (vedanakkhanda).
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan (perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral) yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar.
Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan (perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral) yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar.
Ada enam jenis perasaan:
perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang
terlihat; telinga dengan suara, hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda
yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek
pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam
kelompok ini.
Ada baiknya untuk membahas secara singkat
apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah “pikiran” (manas) dalam filsafat
Buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas
bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya juga
sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas atau pikiran
dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan Sang Buddha
sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria
ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata
berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan
dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal
di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak
dapat mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat
melihat suara, tetapi kita mendengar suara.
Dengan lima indria fisik kita hanya dapat
mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan
benda-benda yang dapat disentuh.
Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan
sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan
pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat
mengetahui mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan
badan jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu
indria pikiran.
Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran
dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari
pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka
tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik.
Seorang yang dilahirkan buta tidak
mempunyai ide (gambaran) tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara
atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan
demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini,
dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap
oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran (manas) dapat dianggap sama seperti
indria-indria lain, misalnya mata atau telinga.
3)
Khanda ketiga ialah
“kegemaran kepada pencerapan” (saññakkhandha). Sebagaimana halnya dengan
perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan
keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan,
pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia
luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik
maupun obyek mental.
4)
Khandha keempat ialah
“kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” (sankharakkhandha). Dalam kelompok ini
termasuk semua kegiatan “kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang
dikenal oleh masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita
harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang Buddha
sendiri: “O bhikkhu, kehendak (cetana) itulah yang Aku namakan kamma. Sesudah
berkehendak orang kemudian berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran”.
Kehendak (cetana) adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah
untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau
perbuatan netral.
Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.
Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental.
Perasaan
dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak. Mereka tak akan menimbulkan
buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma,
misalnya:
Manasikara
|
–
|
perhatian
|
Chanda
|
–
|
keinginan untuk berbuat
|
Adhimokkha
|
–
|
ketetapan hati
|
Saddha
|
–
|
keyakinan
|
Samadhi
|
–
|
samadhi
|
Pañña
|
–
|
kebijaksanaan
|
Viriya
|
–
|
semangat, tenaga, gaya untuk berbuat
sesuatu
|
Raga
|
–
|
hawa nafsu
|
Patigha
|
–
|
kebencian, dendam
|
Avijja
|
–
|
ketidaktahuan, kebodohan
|
Mana
|
–
|
kesombongan
|
Sakkayaditthi
|
ide tentang adanya “aku” yang kekal dan
terpisah
|
Semuanya
terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam “kegemaran akan
bentuk-bentuk pikiran”
5)
Khandha kelima ialah
“kegemaran akan kesadaran” (viññana-kkhanda ).
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan.
Misalnya, kesadaran mata (cakkhu-viññana) mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat.
Kesadaran pikiran (mano-viññana) mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya.
Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan.
Misalnya, kesadaran mata (cakkhu-viññana) mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat.
Kesadaran pikiran (mano-viññana) mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek.
Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita.
Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya.
6)
Anda harus mengerti
dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak dapat mengenal suatu
obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek.
Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita
bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya
sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa.
Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna
biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat.
Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran
indria-indria lainnya.
Di
sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma tidak ada
sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai “aku”, “jiwa” atau
“ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran (viññana) janganlah
sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang kekal abadi sebagai lawan dari badan
jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah
pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap
kesadaran sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi.
Salah
seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru
pernah berkata: “Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling.”
Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan
dengan “kesadaran” itu? Jawaban Sati adalah klasik: “Sesuatu yang melakukan,
yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk
yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.”
“Orang
bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan
ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa
kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa
kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena
ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang
diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya,
maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dst.dst.
Sesudah
itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan.
Api
diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala
dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama
api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia
timbul (Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta).
Buddhagosa,
seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut: “… api
yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam
kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah
berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami
dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan
benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya
sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak
melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. …
Sang
Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan,
pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya
mereka itu. Beliau berkata: “Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda
sebagai perantara (rupapayang), benda sebagai obyek (ruparammanang), benda
sebagai pembantu (rupapatitthang) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh,
bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai
perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau
bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek,
bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh,
bertambah dan berkembang.
Andaikata
ada orang yang berkata: aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya,
lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari
benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah
berkata tentang sesuatu yang tidak ada.”
Secara
singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kegemaran (Pañcakkhanda).
Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau “aku” hanyalah merupakan sebuah nama
atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran
tersebut.
Mereka
semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal
adalah dukkha (Yad aniccang tang dukkhang). Inilah makna sebenarnya dari
kata-kata Sang Buddha: “Secara singkat, Lima Kelompok Kegemaran itu adalah
dukkha.” Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak
sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang
setiap saat timbul dan lenyap kembali.
“O
brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh
dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai di perjalanannya;
tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus
menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang
manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah
berkata kepada Ratthapala: “Dunia ini berada dalam proses bergerak terus
menerus dan oleh karena itu tidak kekal.”
Satu
materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang
berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak
terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya
yang dapat disebut sebagai satu Atta (Pali) atau Atman (Skrt) yang kekal abadi,
satu pribadi atau yang disebut sebagai “aku”.
Saya
kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk
pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai “aku”. Tetapi
kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja
sama dalam satu kombinasi sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan
mendapat ide tentang adanya sang “aku” itu.
Tetapi,
ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52
buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat yang baru saja kita perbincangkan,
yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang “aku” (sakkaya-ditthi; dari
sat = makhluk dan kaya = tubuh).
Lima
Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai
“makhluk”, juga merupakan dukkha (sankharadukkha). Sebenarnya tak ada “makhluk”
atau “aku” lain yang berdiri di belakang Lima Kelompok Kegemaran itu yang
mengalami penderitaan.
Dalam
hubungan ini Buddhagosa pernah berkata:
“Hanya
penderitaan yang ada, namun
“tak
dapat dijumpai si penderita;
“Perbuatan
yang ada, tetapi
“tak
ada si pembuat.” (Vism. (PTS), hal. 513)
Tak
adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya
pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa
penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan.
Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan
lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang
juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir
tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali
dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang berarti “aku
berpikir, dan karena itu aku ada.”
Sekarang
mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha
Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir.
Sang
Buddha pernah bersabda: “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir (samsara) tak mempunyai
akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang
sekarang kelihatan berkeliaran ke sana dan ke mari, diselubungi oleh
ketidaktahuan (avijja), diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak
habis-habisnya (tanha), tidak dapat diketahui dengan jelas.” (S II, hal. 178/9;
III hal. 149, 151).
Selanjutnya
mengenai ketidaktahuan (avijja), yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir
yang tak habis-habisnya, Sang Buddha bersabda: “Awal dari avijja tidak dapat
diketahui dengan jelas. Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan
dengan tepat bahwa di luar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.”
Dengan
demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan
di luar titik tertentu. Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia
tentang Dukkha.
Sangat
penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini dengan baik, sebab
Sang Buddha juga pernah bersabda: “Ia yang telah melihat dukkha akan dapat
melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat
melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.”
Harap
jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh
kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia.
Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia
tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana
karena ia melihat benda-benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau
sewajarnya.
Sang
Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah
mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum
(mihitapubbangama).
Dalam
lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia,
tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau
kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan
vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan,
tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung.
Meskipun
hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap
murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk,
menurut paham Buddhis, adalah patigha. Patigha dapat diartikan sebagai
“keinginan tidak baik” (ill-will) terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan
dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya
ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku
yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar terhadap
penderitaan.
Dengan
bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan
penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar,
dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu.
Yang
perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha
untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan
bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya, kita harus bekerja untuk mencapai
tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras.
Kita
mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha.
Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa
Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan
dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha.
Baginda
Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan
pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat,
kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya
gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci,
indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang.
Raja
itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu
benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata (Buddha).
Buddha
Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah,
yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus Kesunyataan dan memperoleh
Penerangan Agung.
Sebaliknya,
kegiuran (piti) termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak
harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung (Nibbana)
B. Kesunyataan Tentang
Sumber Dhukka.
Kesunyataan
Mulia Kedua membahas sumber atau permulaan dukkha (Dukkha samudaya ariyasacca).
Definisi populer dan terkenal yang dapat dijumpai dalam teks-teks asli berbunyi
sbb. : “Dukkha bersumber kepada tanha (Kehausan, nafsu keinginan yang tak
habis-habisnya) yang menghasilkan kelangsungan kembali dan tumimbal-lahir
(ponobhavika), yang terikat oleh hawa nafsu (nandiragasahagata), dan yang
memperoleh kenikmatan baru di sana-sini (tatratatrabhinandini), yaitu :
- kehausan (nafsu keinginan yang tak
habis-habisnya) akan kenikmatan hawa nafsu ( kama-tanha )
- kehausan (nafsu keinginan yang tak
habis-habisnya) akan kelangsungan dan kelahiran ( bhava-tanha )
- kehausan (nafsu keinginan yang tak
habis-habisnya) akan tidak kelangsungan atau “pemusnahan diri” (
vibhava-tanha ).
Kehausan
ini, nafsu keinginan yang tak habis-habisnya, yang memperlihatkan diri dalam
berbagai cara, merupakan sumber dari beraneka ragam penderitaan dan
kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi, hendaknya hal ini jangan dianggap
sebagai sebab yang pertama karena menurut paham Buddhis tak mungkin ada sebab
yang pertama; segala sesuatu itu relatif dan saling bergantungan dan saling
berkaitan. Sampaipun kehausan (tanha) ini yang dianggap sebagai sebab atau
sumber dari dukkha, pada hakekatnya, untuk dapat timbul (samudaya), tergantung
pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan (vedana), dan perasaan ini tergantung
pada kontak (phassa) dst….. dan terciptalah satu lingkaran Hukum Pokok Yang
Saling Bergantungan (Paticcasamuppada).
Dengan
demikian kita lihat, kehausan atau tanha itu bukanlah satu-satunya sebab
timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal merupakan sebab yang nyata,
yang terdekat dan yang terpenting.
Dalam
beberapa kitab teks Pali yang asli dapat ditemukan definisi dari samudaya
sebagai sumber dukkha yang di dalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran
batin (kilesi, sasava-dhamma) di samping tanha sebagai sebab utama. Dalam
pembahasan kita yang serba terbatas dalam halaman buku ini, maka cukup kiranya
kalau kita senantiasa ingat bahwa tanha sebenarnya berpokok pangkal kepada
anggapan keliru tentang adanya “aku” yang timbul dari avijja (ketidak tahuan).
Di
sini istilah tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa
nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat
kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori,
konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan (dhamma-tanha).
Menurut
analisa dalam agama Buddha, semua kesulitan dan perselisihan di dunia ini, dari
perselisihan kecil dalam keluarga sampai dengan peperangan besar antara negara
dengan negara, timbul dari tanha ini yang mementingkan diri sendiri saja
(Majjhima Nikaya 13, Maha Dukkhanda Sutta).
Dari
sudut pandangan ini, semua persoalan ekonomi, politik dan sosial bersumber pada
tanha yang egoistis ini. Para negarawan terkenal yang mencoba menyelesaikan
persoalan internasional dan berbicara perihal perang dan damai, ekonomi dan
politik hanya membicarakan kulit persoalan dan tidak pernah menyentuh akarnya
yang lebih dalam.
Sang
Buddha pernah bersabda kepada Ratthapala: “Dunia ini membutuhkan, menginginkan
dengan sangat dan kemudian terikat kepada tanha.” (Majjhima Nikaya 82,
Ratthapalasutta).
Setiap
orang harus mengakui bahwa semua kejahatan dan perselisihan dalam dunia ini
disebabkan oleh keinginan yang egoistis. Ini tidak susah untuk dimengerti.
Tetapi, bagaimana keinginan yang egoistis ini dapat mengakibatkan
kelangsungan-kembali dan kelahiran-kembali (Ponobhavika) mungkin tidaklah mudah
untuk dipahami.
Di
sini kita akan membahas sudut filosofi yang lebih dalam dari Kesunyataan Mulia
Kedua dalam hubungannya dengan sudut filosofi dari Kesunyataan Mulia Pertama. Tetapi
terlebih dulu kita harus mendapat sedikit pengetahuan mengenai hukum kamma dan
tumimbal-lahir.
Kita mengenal empat macam “makanan” (ahara) yang menjadi sebab atau kondisi yang harus dipenuhi agar makhluk-makhluk dapat lahir dan berlangsung, yaitu :
- makanan biasa ( kabalinkarahara )
- kontak dari enam indria kita
dengan dunia luar ( phassahara )
- kesadaran ( viññanahara )
- kehendak atau kemauan batin (
manosañcetanahara )
manosañcetana terdiri dari : mano = batin, sañña = pencerapan, cetana = kemauan, kehendak.
Ahara
keempat merupakan kehendak untuk hidup, untuk lahir, untuk bertumimbal-lahir,
untuk berlangsung dan untuk menjadi lebih sempurna. Ia menciptakan akar bagi
kelahiran dan kelangsungan yang bergerak maju dengan perbuatan baik dan buruk
(kusalakusala kamma).
Hal
ini sama seperti kehendak (cetana). Di bagian depan kita telah melihat bahwa
kehendak (cetana) itulah kamma, sebagaimana didefinisikan oleh Sang Buddha
sendiri.
Mengenai
cetana ini, Sang Buddha sendiri pernah bersabda: “Siapa yang mengerti makanan
dari cetana ia juga akan mengerti tiga bentuk tanha (kehausan).” Oleh karena.
itu, tanha (kehausan), kehendak, kehendak mental dan kamma semuanya mempunyai
arti yang sama, yaitu keinginan atau kemauan untuk “ada”, untuk hidup, untuk
hidup kembali, untuk lebih sempurna lagi, untuk berkembang lebih baik, untuk
menghimpun lebih banyak lagi.
Inilah
sebab timbulnya dukkha dan ini dapat ditemukan dalam Kelompok Kegemaran dari
Bentuk-bentuk Pikiran, yaitu salah satu dari Lima Kelompok Kegemaran yang
merupakan unsur dari seorang manusia.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya.
Ini merupakan ajaran Sang Buddha yang penting sekali. Kita harus mengerti dengan baik dan harus senantiasa ingat bahwa sebab, bibit dari timbulnya dukkha adalah di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya, dan kita harus mempunyai pengertian yang sama dan selalu ingat bahwa sebab, bibit untuk menghentikan dukkha, untuk menyingkirkan dukkha secara total, juga terletak di dalam dukkha itu sendiri dan bukan berada di luarnya.
Inilah
apa yang dimaksudkan dengan sebuah pepatah Pali terkenal yang berbunyi sbb. :
Yangkiñci Samudayadhammang Sabbang Tang Nirodhadhammang. Terjemahannya dalam
bahasa Indonesia adalah : Di dalam segala sesuatu yang timbul karena suatu
sebab terdapat sebab yang membuatnya musna kembali.
Kalau
di dalam satu makhluk, satu benda atau satu sistem terdapat kekuatan untuk
menimbulkannya (menciptakannya), di dalamnya pun terdapat kekuatan atau bibit
yang dapat menghentikannya atau menghancurkannya.
Di
dalam dukkha (Lima Kelompok Kegemaran) yang mengandung kekuatan untuk
menimbulkan, juga terdapat kekuatan untuk menghentikannya. Hal ini akan kita
temukan dalam pembahasan mengenai Kesunyataan Mulia Ketiga (Nirodha).
Perkataan
Kamma (Pali) atau Karma (Sansekerta) menurut hurufnya berarti “action” atau
perbuatan. Tetapi, dalam agama Buddha kamma mempunyai arti khusus, yaitu hanya
diartikan sebagai “perbuatan kehendak” dan bukan dalam arti perbuatan pada
umumnya. Kamma juga jangan disalah artikan sebagai akibat dari suatu perbuatan.
Dalam terminologi Buddhis, kamma belum pernah diartikan sebagai satu akibat;
akibatnya dikenal sebagai “buah” atau “hasil” karma (kamma-phala atau
kamma-vipaka).
Kehendak
secara relatif dapat bersifat baik atau buruk, sebagaimana juga keinginan dapat
saja baik atau buruk. Begitu pula kamma secara relatif dapat saja baik atau
buruk. Karma baik (kusala-kamma) menghasilkan akibat yang baik dan karma buruk
(akusala-kamma) menghasilkan akibat yang buruk.
Tanha
(nafsu keinginan), kehendak, kamma yang baik atau buruk, semuanya dapat
menimbulkan tenaga atau kekuatan untuk belangsung ke arah yang baik atau yang
buruk. Baik dan buruk ini pun sebenarnya relatif karena ia bergerak di dalam
lingkaran dari Samsara (Lingkaran tumimbal-lahir).
Seorang
Arahat meskipun berbuat sesuatu tidak akan menimbun karma karena ia telah
terbebas dari konsepsi palsu tentang adanya “aku”, terbebas dari tanha (nafsu
keinginan) untuk berlangsung dan lahir-kembali, terbebas dari segala macam noda
dan kekotoran batin (kilesa, sasava dhamma). Beliau tak akan bertumimbal lahir
lagi di dunia ini.
Semua
perbuatan kehendak menimbulkan akibat atau hasil. Perbuatan baik akan membawa
akibat baik dan perbuatan buruk akan membawa akibat buruk. Hal ini sebetulnya
bukan merupakan pahala atau hukuman yang dijatuhkan oleh orang lain atau suatu
kekuatan yang mengadili tiap-tiap perbuatan seseorang melainkan hal ini terjadi
berkat pembawaannya sendiri, hukumnya sendiri.
Hal
di atas tak begitu sulit untuk dimengerti. Tetapi agak lebih sulit untuk
dimengerti bahwa menurut hukum kamma satu perbuatan kehendak dapat terus
memperlihatkan diri sampai pada kehidupan sesudah orang meninggal dunia.
Marilah
kita bahas persoalan di atas dengan terlebih dulu menerangkan apa yang
dinamakan “kematian” menurut paham agama Buddha. Kita semua tahu bahwa yang
dinamakan manusia itu sebenarnya terdiri dari dua kelompok kekuatan, yaitu
kelompok fisik dan mental. Yang kita namakan kematian pada hakekatnya berarti,
bahwa badan jasmani (fisik) kita pada saat itu berhenti berfungsi secara total.
Apakah pada saat yang bersamaan kelompok kekuatan mental kita juga berhenti
berfungsi? Buddha Dhamma secara tegas mengatakan: “Tidak”.
Kemauan,
kehendak, keinginan, kehausan untuk hidup, untuk berlangsung terus, untuk
menjadi lebih sempurna lagi, merupakan kekuatan raksasa yang menggerakkan semua
kehidupan, seluruh keadaan hidup, bahkan seluruh dunia ini. Ia merupakan
kekuatan yang terbesar, energi yang terhebat di dunia ini.
Menurut
agama Buddha, kekuatan ini tidak turut berhenti dengan tidak berfungsinya lagi
secara total badan jasmani kita; ia terus memanifestasikan diri dalam bentuk
lain yang menghasilkan kelahiran kembali yang lazim disebut sebagai tumimbal-lahir.
Sekarang
pertanyaan lain akan timbul: Kalau tidak ada sesuatu yang tetap, tidak ada inti
yang kekal abadi seperti Atma atau Atta, apakah gerangan yang berlangsung
kembali atau dilahirkan kembali sesudah orang itu mati?
Sebelum
kita membahas kehidupan sesudah mati, marilah kita tinjau dulu apa sebenarnya
kehidupan sekarang ini dan bagaimana ia berlangsung.
Yang
dinamakan kehidupan, sebagaimana sudah berulangkali dikatakan, adalah perpaduan
dan kerja-sama antara Lima Kelompok Kegemaran, yaitu kerja-sama secara terpadu
antara kekuatan-kekuatan fisik dan mental. Mereka senantiasa berubah-ubah dan
tidak sama meskipun untuk sesaat. Setiap saat mereka dilahirkan dan setiap saat
pula mereka mati. Sang Buddha pernah bersabda: “Sebagaimana Kelompok Kegemaran
itu timbul, menjadi lapuk dan mati, O bhikkhu, engkau pun, setiap saat
dilahirkan, menjadi lapuk dan mati”.
Oleh
karena itu, sekarang pun dalam kehidupan ini, engkau setiap saat dilahirkan,
menjadi lapuk dan mati namun engkau masih tetap berlangsung. Kalau kita dapat
menerima bahwa dalam penghidupan ini kita dapat berlangsung tanpa ada suatu
substansi seperti Atta atau Jiwa (yang kekal dan tidak berubah) mustahil kita
tidak dapat menerima bahwa kekuatan-kekuatan itu juga dapat berlangsung tanpa
Atta atau Jiwa setelah badan jasmani kita tidak berfungsi lagi.
Kalau
badan jasmani ini tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya, kekuatan-kekuatan
tersebut tidak turut mati, melainkan tetap berlangsung dengan mengambil bentuk
lain yang lazim kita sebut sebagai “kehidupan lain”.
Di
dalam diri seorang anak, semua kekuatan fisik, mental dan intelektual masih
lembut dan lemah, tetapi mereka mempunyai potensi untuk kelak membentuk seorang
manusia dewasa. Di dalam kekuatan fisik dan mental yang merupakan bagian dari
apa yang disebut “manusia” itu terdapat potensi untuk mengambil bentuk baru
untuk kemudian berangsur-angsur tumbuh menjadi seorang dewasa.
Oleh
karena tidak terdapat satu subtansi (inti) yang kekal dan tidak berubah, maka
tidak dapat ditemukan sesuatu yang datang dan pergi dari satu saat ke saat yang
lain. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa tidak terdapat sesuatu yang kekal
dan abadi yang dari satu kehidupan pindah ke kehidupan yang lain. Ia hanya
merupakan satu rangkaian yang berlangsung terus menerus, tetapi tiap saat
berubah-ubah. Sesungguhnya, rangkaian itu tak lain dan tak bukan merupakan
gerakan belaka. Seperti juga api yang menyala sepanjang malam; api yang menyala
pada permulaan malam dan api yang menyala pada akhir malam tidak sama namun
juga tidak berbeda.
Seorang
anak tumbuh menjadi seorang kakek berumur 60 tahun. Terang bahwa kakek tersebut
tidak sama dengan seorang anak pada 60 tahun yang lalu, namun ia sebenarnya
juga bukan orang lain.
Begitu
juga halnya dengan orang yang mati di sini dan bertumimbal lahir di tempat
lain; ia bukan orang yang sama dan juga bukan orang yang lain. Orang tersebut
merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama. Perbedaan antara mati dan
lahir-kembali hanya merupakan pikiran pada satu saat (thought moment). “Thought
moment” yang terakhir dalam kehidupan ini menciptakan kondisi untuk “thought
moment” yang pertama dalam kehidupan yang berikutnya, yang pada hakekatnya
merupakan kelangsungan dari satu rangkaian yang sama.
Dalam
kehidupan sekarang juga, satu “thought moment” menciptakan kondisi untuk
timbulnya satu “thought moment” yang berikutnya. Oleh karena itu, menurut
pandangan seorang Buddhis, persoalan hidup dan mati bukanlah merupakan satu
persoalan yang diliputi rahasia besar dan seorang Buddhis tidak begitu merisaukan
persoalan ini. Selama masih ada kehausan untuk menjadi dan berlangsung, selama
itu pula roda samsara akan berjalan terus. Ia hanya dapat berhenti, apabila
tenaga pendorongnya yang berupa tanha dapat dikikis habis dengan Kebijaksanaan
yang dapat melihat Kebenaran Sejati, Kesunyataan, Nibbana.
C. Kesunyataan tentang
Lenyapnya Dhukka.
Kesunyataan
Mulia Ketiga membahas tentang pembebasan diri dari penderitaan, dari terus
berlangsungnya dukkha. Oleh karena itu, ia dinamakan Kesunyataan Mulia Tentang
Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariyasacca); yang berarti Nibbana (Pali)
atau mungkin lebih populer dengan istilah Nirvana (Sansekerta).
Untuk
menyingkirkan dukkha secara total, kita harus menyingkirkan akar dukkha, yang
sebagaimana kita lihat di halaman-halaman bagian depan dinamakan tanha. Oleh
karena itu, Nibbana juga dikenal dengan istilah Tanhakkhaya (Padamnya nafsu
keinginan).
Mungkin
anda akan bertanya: Apakah sebenarnya Nibbana itu? Buku-buku tebal ditulis
untuk memberi jawaban atas pertanyaan yang sederhana dan biasa ini, namun
kenyataannya mungkin lebih mengacaukah persoalan ini daripada menerangkannya.
Jawaban
yang saya anggap dapat dipertanggungjawabkan ialah bahwa itu tidak mungkin
dapat dijawab secara menyeluruh dan memuaskan dengan kata-kata karena kata-kata
terlalu “miskin” untuk mengungkapkan arti yang sebenarnya dari Kebenaran
Sejati, Kesunyataan atau Nibbana itu.
Bahasa
diciptakan dan dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan dengan kata-kata,
sesuatu tentang benda-benda dan ide-ide yang pernah dialami sendiri melalui
keenam indria mereka. Pengalaman “halus luar biasa” seperti mengalami Kebenaran
Sejati tidaklah dapat digolongkan sebagai pengalaman biasa.
Dari
itu, tidak terdapat kata-kata untuk mengutarakan pengalaman seperti itu,
seperti juga seekor ikan tidak memiliki kata-kata untuk mengutarakan ujud tanah
dataran. Seekor kura-kura memberitahukan kawannya, seekor ikan, bahwa ia
kembali ke telaga sesudah berjalan-jalan di tanah datar. “Tentu saja”, si ikan
menjawab, “engkau maksudkan berenang.” Si kura-kura mencoba menerangkan bahwa
ia tidak dapat berenang di tanah dataran yang padat melainkan harus berjalan di
atas tanah tersebut. Tetapi ikan itu kukuh dengan pendapatnya bahwa hal itu
tidak mungkin, sebab menurut hematnya dunia ini terdiri dari air seperti telaga
yang didiaminya dan makhluk-makhluk harus dapat menyelam dan berenang di
dalamnya.
Kata-kata
merupakan lambang yang mewakili benda-benda dan bentuk-bentuk pikiran yang kita
kenal, dan lambang-lambang ini tidak mungkin dapat mengungkapkan hakekat
sesungguhnya dari benda atau bentuk pikiran, meskipun dari yang paling
sederhana. Untuk memahami dengan baik Kesunyataan, kata-kata bahkan dapat
dianggap menyesatkan dan mengacaukan. Dalam Lankavatara-Sutra dapat kita baca
bahwa orang bodohlah yang membenamkan diri dalam kata-kata seperti seekor gajah
di dalam lumpur.
Biarpun
begitu, kita tetap memerlukan bahasa dan kata-kata. Tetapi, kalau kita mau
mengungkapkan dan menerangkan Nibbana dengan kata-kata, kita berkecenderungan
untuk memakai istilah-istilah yang justru mempunyai arti sebaliknya. Dari itu
Nibbana seringkali diutarakan dalam istilah negatif, yang mungkin dianggap
sebagai kurang berbahaya, misalnya seperti Tanhakkhaya (Padamnya nafsu
keinginan), Asankhata (Tidak berkondisi), Viraga (Hapusnya keinginan), Nirodha
(Terhentinya atau akhir dukkha), Nibbana (Padamnya keinginan).
Sekarang,
marilah kita tinjau beberapa definisi tentang Nibbana yang terdapat dalam kitab
Tipitaka Pali.
“Nibbana
ialah terhentinya tanha secara total, melepaskan diri, menolak, terbebas dan
terlepas dari tanha.”
“Pudarnya
benda-benda yang tercipta, terbebas dari semua noda dan kekotoran batin,
padamnya nafsu keinginan, tidak terpengaruh, terhenti, itulah Nibbana.”
“O
bhikkhu, apakah “Yang Tidak Tercipta” (asankhata) itu? Itu adalah, padamnya
hawa nafsu (ragakkhayo), padamnya kebencian (dosakkhayo) dan padamnya kebodohan
(mohakkhayo). Itulah, O bhikkhu yang disebut “Yang Tidak Tercipta”.
“O
Radha, padamnya tanha adalah Nibbana.”
“O
bhikkhu, di antara benda apa pun juga, yang tercipta maupun yang tidak
tercipta, maka Viraga (sikap yang tidak terpengaruh) adalah yang paling tinggi.
Itu berarti bebas dari kesombongan, menghancurkan kehausan, membasmi
ikatan-ikatan, memutuskan kelangsungan, padamnya tanha, tidak terpengaruh,
terhenti, itulah Nibbana.”
Jawaban
dari Ayasma Sariputta, siswa utama Sang Buddha, atas pertanyaan dari
Parivrajaka tentang “Apakah Nibbana?” adalah sama dengan definisi dari
Asankhata yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri yaitu: “Padamnya hawa nafsu,
padamnya kebencian, padamnya kebodohan”.
“Penglepasan
dan pelenyapan nafsu keinginan dan kemelekatan kepada Lima Kelompok Kegemaran
inilah akhir dari dukkha.”
“Penghentian
kelangsungan dan tumimbal-lahir (Bhavanirodha) adalah Nibbana.”
“O
bhikkhu, ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta. Kalau
tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak tercipta, maka tidak
ada kemungkinan untuk terbebas dari yang dilahirkan, yang bertumbuh dan yang
tercipta. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak bertumbuh dan tidak
tercipta, maka ada kemungkinan untuk terbebas dari yang dilahirkan, yang
bertumbuh dan yang tercipta. Di sini benda padat, benda cair, panas dan gerak
(mahabhuta) tidak mempunyai tempat: pengertian tentang panjang dan lebar,
tentang kecil dan besar, tentang baik dan buruk, tentang nama dan rupa,
semuanya telah dihancurkan; dan tidak dapat ditemukan lagi dunia ini atau dunia
yang lain, yang datang, berjalan atau berdiri, kematian atau kelahiran dan
semua obyek-obyek indria.” (Udana VIII: 1-3)
Karena
Nibbana selalu digambarkan dengan istilah-istilah negatif, maka banyak orang
yang salah paham bahwa Nibbana itu negatif dan mencerminkan penghancuran diri.
Nibbana dengan tegas dinyatakan bukan penghancuran diri, sebab memang tidak ada
“diri” yang harus dihancurkan. Yang harus dihancurkan sebenarnya pandangan yang
menyesatkan tentang adanya “diri” itu sendiri.
Juga
tidak dapat dibenarkan mengatakan Nibbana sebagai positif. Pemikiran negatif
dan positif adalah relatif dan menggambarkan satu keadaan yang dualistis. Kedua
istilah ini tentu saja tidak dapat dipakai untuk menerangkan Nibbana,
Kesunyataan Mutlak, yang berada di luar hal-hal yang dualistis dan relatif.
Satu
kata yang negatif bukan secara mutlak harus menggambarkan satu keadaan yang
negatif pula. Misalnya kata Pali atau Sansekerta untuk sehat adalah arogya,
yang berarti tidak sakit. Tetapi arogya (sehat) tidak menggambarkan satu
keadaan yang negatif. Kata abadi (Pali, Amata; Skrt. Amrta), sinonim untuk
Nibbana, juga sebuah kata negatif, namun tidak menggambarkan satu keadaan yang
negatif.
Satu
sinonim lain yang terkenal untuk Nibbana adalah mutti (kebebasan). Tak seorang
pun akan berkata bahwa kebebasan adalah negatif. Namun, kebebasan pun mempunyai
segi negatif; kebebasan selalu berarti memerdekakan diri dari satu penindasan,
dari sesuatu yang jahat, dari sesuatu yang negatif. Tetapi kebebasan jelas
tidak negatif. Dengan demikian Nibbana, Mutti atau Vimutti, Kebebasan Mutlak
adalah kebebasan dari semua bentuk kejahatan, kebebasan dari keinginan yang
tidak habis-habisnya, dari kebencian dan kebodohan, kebebasan dari sesuatu yang
bersifat dualistis dan relatif, dan kebebasan dari waktu dan tempat.
Marilah
sekarang kita meninjau penjelasan tentang Nibbana sebagai Kesunyataan Mutlak
dalam Dhatuvibhanga-Sutta (No. 140 dari Majjhima-Nikaya). Sutta yang sangat
penting ini dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada Pukkusati (yang kita sudah
kenal) pada suatu malam yang sunyi di pondok seorang pembuat guci tanah liat,
yang oleh Sang Guru dipandang sebagai orang yang cerdik dan berkermauan keras.
Intisari sutta tersebut adalah sbb.:
Seorang
manusia terdiri dari enam unsur: padat, cair, panas, gerak, ruang dan
kesadaran. Setelah kita menganalisa enam unsur tersebut, maka kita harus
menarik kesimpulan bahwa tidak satu pun dari unsur-unsur di atas dapat
dikatakan sebagai “kepunyaanku”, atau “aku”, atau “diriku”. Ia memahami,
bagaimana kesadaran itu timbul dan kemudian lenyap kembali, bagaimana perasaan
yang menyenangkan, perasaan yang tidak menyenangkan dan perasaan netral itu
timbul dan lenyap kembali. Dengan adanya pengetahuan ini lalu batinnya tidak
terpengaruh lagi. Lalu, ia akan mencapai batin yang penuh keseimbangan
(upekha), yang dapat diarahkan untuk mencapai satu keadaan spiritual yang
tinggi, dan ia tahu bahwa keseimbangan batin yang murni ini dapat berlangsung
untuk waktu yang lama. Setelah itu ia berpikir: “Kalau aku mengkonsentrasikan
pikiranku yang telah mencapai keseimbangan murni ke “alam yang tak terbatas”
dan mengembangkan batin yang sesuai dengan keadaan itu, maka itu pun merupakan
ciptaan pikiran (sankhatang). Kalau aku kemudian mengkonsentrasikan pikiranku
yang mencapai keseimbangan murni ke “alam dari kesadaran yang tak terbatas” …
ke “alam dari kekosongan” … atau ke “alam dari bukan-pencerapan dan juga bukan
bukan-pencerapan” dan mengembangkan batin yang sesuai dengan keadaan itu, maka
itu pun merupakan ciptaan pikiran”.
Sesudah
itu, ia tak lagi mencipta dengan pikiran, juga tak menginginkan kelangsungan
dan kelahiran kembali (bhava) atau pemusnaan diri (vibhava). Karena ia tidak
lagi mencipta sesuatu atau ingin kelangsungan dan kelahiran-kembali atau
pemusnaan diri, ia tidak melekat pada apa pun juga di dunia ini; karena tidak
melekat ia tidak lagi gelisah; karena tidak gelisah ia memperoleh ketenangan
batin yang sempurna (terpadam seluruhnya – paccattang yeva parinibhiyati).
Sekarang
ia tahu: “Ia sudah terbebas dari tumimbal-lahir, kehidupan suci telah
dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu
apa pun yang masih harus dikerjakan.”
Kalau
ia sekarang mengalami satu perasaan yang menyenangkan, perasaan yang tidak
menyenangkan atau perasaan yang netral, ia tahu bahwa itu adalah tidak kekal,
dan ia tidak akan terpikat oleh perasaan itu dan perasaan itu diterimanya
dengan murni tanpa disertai nafsu apa pun (visamyutto). Ia tahu bahwa semua
perasaan itu baru akan berhenti bergejolak dengan hancurnya badan jasmani,
seperti juga api dari sebuah lampu padam oleh karena minyak dan sumbunya habis
terbakar.
“Dengan
demikian, O bhikkhu, orang yang diberkahi tersebut akan diberkahi pula dengan
Kebijaksanaan Tertinggi, sebab pengetahuan tentang padamnya semua dukkha
merupakan Kebijaksanaan Tertinggi yang mulia. Keyakinannya terhadap Kesunyataan
tak dapat digoyahkan lagi. O bhikkhu, segala sesuatu yang tidak nyata adalah
palsu (mosadhamma) dan segala suatu yang nyata (amosadhamma), Nibbana adalah
Kesunyataan (sacca). Dengan demikian, O bhikkhu, orang yang diberkahi tersebut
akan diberkahi pula dengan Kesunyataan ini. Karena Kesunyataan Mulia (paramang
ariyasaccang) itulah yang nyata, Nibbana.”
Pada
kesempatan lain Sang Buddha menggunakan perkataan Kesunyataan sebagai pengganti
dari perkataan Nibbana: “Aku akan mengajarmu Kesunyataan dan Jalan Yang Menuju
Ke Kesunyataan”. Di sini Kesunyataan dengan jelas diartikan Nibbana.
Sekarang,
apakah arti Kesunyataan? Menurut paham agama Buddha, merupakan Kebenaran Mutlak
(Kesunyataan) bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu pun yang mutlak (absolute);
segala sesuatu adalah relatif, berkondisi dan tidak kekal, dan tidak terdapat
unsur yang tidak berubah, kekal dan mutlak seperti “aku”, “jiwa” atau Atman,
baik di dalam maupun di luar dirinya. Inilah Kesunyataan Mulia.
Realisasi
dari Kesunyataan ialah melihat benda-benda menurut keadaan yang sebenarnya
(yathabhutang – to see things as they are) tanpa khayalan (ilusi) atau avijja
(kebodohan) sehingga tanha dapat terkikis habis dan dukkha dapat dilenyapkan,
yang berarti Nibbana.
Dalam
hubungan ini, menarik sekali dan juga berguna untuk kita ingat kembali
pandangan agama Buddha aliran Mahayana bahwa Nirvana tidaklah berbeda dari
Samsara. Samsara dan Nirvana adalah sama dan tergantung pada cara kita
memandangnya, secara subyektif atau obyektif. Pandangan aliran Mahayana ini
mungkin dikembangkan dari pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam kitab
Theravada asli dalam bahasa Pali.
Kuranglah
tepat untuk mengatakan bahwa Nibbana adalah hasil dari padamnya nafsu keinginan
karena Nibbana bukan merupakan hasil dari sesuatu. Kalau sekiranya ia merupakan
hasil, maka itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh satu sebab. Dalam hal ini,
ia akan menjadi sankhata, yaitu dihasilkan dan diciptakan, padahal Nibbana
bukanlah sebab maupun akibat. Ia berada di luar / di atas sebab dan akibat.
Kesunyataan bukanlah merupakan hasil dari satu keadaan mistik, spiritual atau
keadaan mental seperti dhayana atau samadhi. Kesunyataan adalah sama dengan
Nibbana (Trurt is, Nibbana is).
Yang
dapat Anda lakukan ialah untuk melihatnya dan untuk merealisasinya (to see and
to realize it). Memang terdapat jalan yang menuju ke Nibbana, namun Nibbana
bukanlah hasil dari jalan itu. Misalnya Anda dapat mencapai puncak gunung
dengan melalui sebuah jalan, namun jelas kiranya bahwa puncak gunung itu
bukanlah hasil dari jalan tersebut. Demikian pula kalau anda melihat api. Api
itu juga jelas bukan hasil dari bekerjanya indria mata Anda.
Orang
sering berkata : “Ada apakah setelah Nibbana?” Pertanyaan ini sebenarnya tidak
boleh timbul karena Nibbana merupakan Kesunyataan Terakhir. Karena ia merupakan
yang terakhir maka setelah itu tak mungkin akan ada apa-apa lagi.
Seorang
bhikkhu bernama Radha telah mengajukan pertanyaan ini kepada Sang Budha dalam
bentuk lain : “Untuk tujuan apakah Nibbana itu?” Dalam pertanyaan ini terdapat
satu konsepsi tentang adanya sesuatu setelah Nibbana. Oleh karena itu, Sang
Buddha menjawab : “O Radha, pertanyaanmu tidak relevan. Orang menuntut
kehidupan suci dengan Nibbana sebagai tujuan, sebagai tujuan yang terakhir.”
(Samyutta Nikaya III : 187).
Juga
istilah populer tetapi kurang tepat seperti “Sang Buddha memasuki Nibbana atau
Parinibbana setelah Beliau mangkat” banyak menimbulkan pemikiran yang salah
tentang Nibbana. Pada waktu Anda mendengar “Sang Buddha memasuki Nibbana atau
Parinibbana” Anda tentu menganggap bahwa Nibbana merupakan sorga atau alam, di
mana masih terdapat kehidupan dan Anda akan membayang-bayangkannya dalam rangka
tata-bahasa yang Anda kenal di dunia ini.
Sebutulnya
pepatah “Memasuki Nibbana” yang populer itu tidak dapat ditemukan dalam teks
yang asli. Dalam kitab Tipitaka memang tidak terdapat ungkapan seperti
“memasuki Nibbana setelah meninggal dunia”. Di sini hanya terdapat istilah
Parinibbuto yang dipakai untuk mengisyaratkan mangkatnya seorang Buddha atau
Arahat yang telah merealisasi Nibbana, tetapi ini bukan berarti “memasuki
Nibbana”. Parinibhuto hanya berarti “meninggal dunia secara sempurna”,
“seluruhnya tertiup habis” atau “padam seluruhnya”; seorang Buddha atau seorang
Arahat tidak akan bertumimbal-lahir lagi setelah mengangkat.
Sekarang
sebuah pertanyaan lain dapat timbul: Apa yang terjadi setelah seorang Buddha
atau seorang Arahat mangkat, Parinibbana? Ini termasuk dalam kelompok
pertanyaan yang tidak dapat dijawab (avyakata). Ketika Sang Buddha berbicara
mengenai hal ini, Beliau mengatakan dengan jelas bahwa tidak terdapat kata-kata
dalam tata-bahasa kita yang dapat menerangkan apa yang sebenarnya terjadi
setelah seorang Arahat mangkat.
Menjawab
pertanyaan seorang Parivrajaka bernama Vacchagotta, Sang Buddha berkata bahwa
istilah “dilahirkan” atau “tidak-dilahirkan” tidak dapat dipakai terhadap
seorang Arahat karena perkataan seperti benda, perasaan, pencerapan, kegiatan
pikiran, kesadaran, yang berhubungan dengan istilah “dilahirkan” atau
“tidak-dilahirkan” telah dihancurluluhkan sampai ke akar-akarnya dan tidak akan
timbul lagi setelah Beliau mangkat (Majjhima Nikaya 62,
Aggi-Vacchagotta-Sutta).
Seorang
Arahat setelah mangkat seringkali diumpamakan sebagai api yang padam kalau
bahan kayunya / bakarnya telah habis terbakar atau sebagai api dari sebuah
lampu yang padam karena sumbu dan minyaknya habis terbakar.
Untuk
memperoleh pengertian yang jelas dan tepat dan untuk menjaga agar kita jangan
bingung, maka apa yang diumpamakan sebagai api yang padam bukanlah Nibbana
tetapi makhluk yang terdiri dari Lima Khanda yang telah merealisasi Nibbana.
Hal
ini perlu ditekankan kembali secara khusus karena ternyata masih banyak sarjana
terkenal yang masih saja menyalah artikan dan menyalah tafsirkan perumpamaan
tersebut di atas. Nibbana tidak pernah diumpamakan sebagai api atau lampu yang
telah padam.
Ada
lagi pertanyaan yang seringkali diajukan: Kalau tidak ada Diri, Jiwa atau Atma,
siapa sebenarnya yang menyelami (merealisasi) Nibbana?
Sebelum
melanjutkan uraian tentang Nibbana, marilah kita coba dulu menjawab pertanyaan
ini: Siapa gerangan yang berpikir kalau tidak ada Diri atau Atma?
Kita
telah melihat dari uraian di halaman depan, bahwa pikiran itu sendirilah yang
berpikir dan tidak ada “diri” yang berdiri di belakang pikiran tersebut.
Dalam
hal yang sama, maka Panna atau “kebijaksanaan” pengalamanlah yang menyelami
(merealisasi). Tidak ada diri yang lain yang berdiri di belakang penyelaman
(realization) itu.
Dalam
perbincangan kita tentang sebab dari dukkha, kita telah melihat bahwa di dalam
makhluk, benda atau sistem apa pun juga yang mengandung kekuatan untuk
menimbulkannya (menciptakannya) terdapat juga kekuatan atau bibit yang dapat
menghentikan dan menghancurkannya. Di dalam dukkha, samsara (roda tumimbal
lahir), terkandung kekuatan untuk menimbulkan dan karena itu juga terdapat
kekuatan untuk menghentikannya.
Dukkha
disebabkan oleh tanha dan ia terhenti oleh pañña (kebijaksanaan). Tanha dan
pañña kedua-duanya terdapat di dalam Lima Kelompok Kegemaran (Lima Khandha)
seperti yang kita lihat pada bagian sebelumnya.
Kita
dapat menarik kesimpulan bahwa bibit atau kekuatan yang menimbulkan dan yang
kemudian dapat menghentikannya, kedua-duanya ada di dalam Lima Kelompok
Kegemaran.
Inilah
arti sebenarnya dari pernyataan Sang Buddha yang terkenal: “Di dalam badan
jasmani itu sendiri yang tidak seberapa jengkal besarnya, Aku melihat dunia
ini, timbulnya dunia ini, terhentinya dunia ini dan jalan yang menuju ke
terhentinya dunia ini.” (Anguttara Nikaya II:48).
Hal
di atas berarti bahwa Empat Kesunyataan Mulia itu seutuhnya dapat ditemukan di
dalam Lima Kelompok Kegemaran, yaitu di dalam diri kita sendiri. Di sini kata
dunia / alam (loka) dipakai sebagai kiasan dari dukkha.
Ini
pula berarti tidak terdapat kekuatan di luar badan jasmani kita yang dapat
mengakibatkan timbulnya dan terhentinya dukkha.
Kalau
kebijaksanaan dikembangkan dan dilatih sesuai dengan Empat Kesunyataan Mulia,
maka ia akan dapat melihat rahasia dari kehidupan, yaitu keadaan benda-benda
dalam wujudnya yang sebenarnya (the reality of things as they are). Kalau
rahasianya telah ditemukan, apabila Kesunyataan telah dapat dilihat, semua
kekuatan yang dengan suburnya dapat menciptakan kelanjutan dari samsara akan
menjadi tenang dan tak mampu lagi menciptakan benih-benih kamma lebih lanjut
sebab tidak lagi terdapat avijja (ketidaktahuan, kebodohan) dan tidak ada lagi
“kehausan” untuk tetap berlangsung. Seperti juga orang yang sakit mental dan
kemudian dapat disembuhkan karena sebab dari penyakitnya dapat ditemukan dan
dilihat oleh si penderita.
Hampir
di semua agama “Summum Bonum” hanya dapat dicapai setelah orang meninggal
dunia; tetapi Nibbana dapat direalisasi dalam kehidupan ini juga dan orang
tidak usah menunggu sampai ia meninggal dunia.
Orang
yang berhasil merealisasi (menyelami) Kesunyataan, Nibbana, adalah orang yang
paling bahagia dalam dunia ini. Ia telah terbebas dari semua keruwetan dan
gangguan pikiran, ketakutan, kekesalan dan kekecewaan yang menyiksa orang lain.
Kesehatan mentalnya sempurna. Ia tidak menghiraukan apa yang akan datang. Ia
hidup sepenuhnya pada saat sekarang.
Dari
itu ia menghargai dan menikmati benda-benda dalam arti semurni-murninya tanpa
konsepsi tentang “Sang Aku” Ia penuh kegembiraan, menikmati penghidupan suci,
indria-indrianya terkekang, bebas dari kegelisahan, tenang dan penuh kedamaian.
Karena
ia terbebas dari keinginan yang mementingkan diri sendiri, dari kebencian,
kebodohan, kesombongan, tinggi hati dan kekotoran batin lainnya; ia menjadi
orang yang mempunyai hati bersih dan lemah lembut, penuh dengan cinta-kasih
yang universal, belas kasihan, ramah-tamah, penuh pengertian dan toleransi.
Bantuan
yang diberikan kepada orang lain dilakukan dengan hati yang tulus dan bersih
karena ia tidak lagi berpikir dalam rangka “Sang Aku”. Ia tidak ingin memiliki
apa-apa, ia tidak menimbun apa-apa sekalipun yang ada hubungannya dengan
hal-hal spiritual karena ia sudah terbebas dari ilusi tentang adanya “Sang Aku”
dan terbebas pula dari kehausan untuk bertumimbal-lahir kembali.
Nibbana
berada di luar istilah yang dualistis dan relatif; oleh karena itu, ia di luar
konsepsi kita tentang baik dan buruk, benar atau salah, hidup dan tidak-hidup.
Bahkan, perkataan sukha (kebahagiaan) yang dipakai untuk menggambarkan Nibbana
mempunyai arti yang lain. Sariputta pernah berkata “O sahabat, Nibbana itulah
sukha (kebahagiaan)! Nibbana itulah sukha!”
Kemudian
Udayi bertanya: “Tetapi, sahabat Sariputta, kebahagiaan yang bagaimanakah yang
anda maksudkan, kalau sudah tidak ada perasaan?” Sariputta memberi jawaban yang
mengandung filsafat tinggi dan sulit dimengerti oleh orang awam: “Justru tanpa
perasaan itulah kebahagiaan.” (Anguttara Nikaya IX: 34)
Nibbana
berada di luar logika dan akal manusia (atakkavacara). Seorang anak di taman
kanak-kanak tidak akan bertengkar tentang teori relativitas. Sebaliknya, kalau
ia tekun dan rajin belajar, pada suatu hari ia akan memahaminya dengan
sendirinya.
Nibbana
harus diselami (direalisasi) oleh para arif bijaksana di dalam diri
masing-masing (paccattang veditabbo viññuhiti). Kalau kita melaksanakan “Jalan”
dengan sabar, rajin dan ulet, melatih dan membersihkan diri dengan tekun dan
memperoleh tingkatan spiritual yang diperlukan, kita pun pada suatu hari dapat
merealisasi Nibbana, tanpa membuat otak kita pusing dengan kata-kata yang muluk
dan penuh teka-teki.
Sekarang,
marilah kita meningkat untuk membahas “Jalan” yang menuju ke realisasi Nibbana.
D.
Kesunyataan tentang
Jalan Menuju Lenyapnya Dhukka.
Kesunyataan Mulia Keempat ialah Jalan yang
menuju ke Terhentinya Dukkha (Dukkha nirodha gaminipatipada-Ariyasacca). Ia
juga dikenal dengan nama “Jalan Tengah” (Majjhima-Patipada), karena ia
menghindari dua hal yang ekstrim, yaitu:
- mencari kebahagiaan dengan menuruti nafsu-nafsu indria,
yang dianggap rendah, biasa, tidak berfaedah dan cara-cara dari orang
biasa.
- mencari kebahagiaan dengan menyiksa diri dalam berbagai
cara, yang menyakiti sekali, tidak berharga, dan tidak berfaedah
Sang Bodhisatva sendiri telah mencoba kedua
hal ekstrim tersebut dan akhirnya menyadari bahwa itu tidak berguna; maka
melalui pengalamannya sendiri Beliau menemukan Jalan Tengah yang dapat
menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa Beliau ke Pandangan Terang,
Penerangan Agung, Nibbana.
Jalan Tengah ini juga sering disebut sebagai
Delapan Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga) karena ia terdiri dari delapan
bagian:
1.
|
Samma Ditthi
|
–
|
Pengertian Benar
|
2.
|
Samma Sankappa
|
–
|
Pikiran Benar
|
3.
|
Samma Vaca
|
–
|
Ucapan Benar
|
4.
|
Samma Kammanta
|
–
|
Perbuatan Benar
|
5.
|
Samma Ajiva
|
–
|
Penghidupan Benar
|
6.
|
Samma Vayama
|
–
|
Daya Upaya Benar
|
7.
|
Samma Sati
|
–
|
Perhatian Benar
|
8.
|
Samma Samadhi
|
–
|
Konsentrasi Benar
|
Pada hakekatnya seluruh ajaran Sang Buddha
yang Beliau sendiri siarkan selama empat puluh lima tahun sedikit banyak ada
hubungannya dengan Jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara dan
dengan memakai bahasa yang mudah dimengerti, kepada beraneka ragam orang dengan
tingkatan pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda-beda. Pelajaran yang
terdapat dalam ribuan sutta dari kitab-kitab suci Buddhis membahas Delapan
Jalan Utama ini.
Tetapi, harap jangan disalahtafsirkan, bahwa
Jalan ini harus dilaksanakan menurut nomor urut daftar tersebut di atas.
Sedikit banyak mereka harus dikembangkan bersama-sama, yang tentu saja
tergantung pada keadaan dan kesanggupan dari tiap-tiap orang. Bagian-bagian itu
sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling mengisi.
Delapan Jalan Utama ini bertujuan untuk
mengembangkan dan menyempurnakan tiga persoalan pokok dalam latihan dan
disiplin seorang Buddhis, yaitu :
1.
|
Sila
|
–
|
tata hidup yang bersusila
|
2.
|
Samadhi
|
–
|
disiplin mental
|
3.
|
Pañña
|
–
|
kebijaksanaan luhur.
|
Untuk memperoleh gambaran yang lebih baik
serta pengertian yang lebih mendalam tentang Delapan Jalan Utama tersebut, maka
pembahasannya akan dilakukan sesuai dengan tiga kelompok di atas.
- Sila
Sila mempunyai dasar
permikiran cinta kasih universal dan belas kasihan terhadap semua makhluk
hidup, yang juga menjadi dasar ajaran Sang Buddha. Karena itu harus disesalkan
bahwa cita-cita serta pemikiran yang luhur ini sering dilupakan oleh banyak
ilmuwan (penulis) yang hanya menulis tentang agama Buddha yang berhubungan
dengan filsafat dan metafisika yang tinggi dan kering.
Ajaran Sang Buddha
sebenarnya “untuk kepentingan orang banyak” dan “untuk kebahagiaan orang
banyak” yang tercetus keluar dalam perasaan cinta kasih dan belas kasihan yang
murni terhadap dunia ini serta seluruh isinya (Bahujanahitaya bahujanakhaya
lokanukampaya).
Menurut agama Buddha,
untuk memperoleh kesempurnaan hidup, dua sifat luhur harus dikembangkan secara
bersamaan, yaitu :
a.
metta-karuna (cinta kasih-belas kasihan)
b.
pañña (kebijaksanaan)
Metta-karuna mencakup
cinta kasih, suka beramal, ramah tamah, toleransi dan sifat-sifat luhur lainnya
yang ada hubungannya dengan perasaan (emosi) atau sifat-sifat yang timbul dari
hati, sedangkan pañña ada hubungan dengan intelek (kecerdasan) atau
sifat-sifiat yang timbul dari pikiran.
Kalau orang hanya
mengembangkan segi perasaannya saja dengan mengabaikan segi inteleknya
(kecerdasannya), maka orang ini kelak akan menjadi seorang edan yang baik hati.
Sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan segi inteleknya dengan mengabaikan
segi perasaannya, maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang “berhati
batu” dan tidak mempunyai perasaan kasihan sedikit pun terhadap orang lain.
Oleh karena itu, untuk memperoleh kesempurnaan hidup orang harus mengembangkan
sifat-sifat yang tersebut di atas secara berbarengan.
Inilah tujuan dari
“way of life” seorang Buddhis: yaitu, kebijaksanaan dan cinta kasih belas kasihan
berpadu secara harmonis dalam satu kesatuan yang utuh.
Sila yang berlandaskan
cinta kasih dan belas kasihan meliputi tiga bagian dari Delapan Jalan Utama,
yaitu:
¾ No. 3 Ucapan Benar
¾ No. 4 Perbuatan Benar
¾ No. 5 Penghidupan
Benar
Ucapan Benar
Dapat digolongkan
sebagai Ucapan Benar, jika empat syarat di bawah ini dipenuhi :
1.
ucapan itu benar
2.
ucapan itu belarasan
3.
ucapan itu berfaedah
4.
ucapan itu tepat pada waktunya (Majjhima Nikaya 58)
Ini berarti
membebaskan diri dari:
a.
kata-kata yang tidak benar (berdusta)
b.
kata-kata yang dapat menimbulkan kebencian, perpecahan dan
perselisihan di antara perorangan atau golongan
c.
kata-kata cabul dan kasar yang menyakiti hati orang lain
d.
kata-kata yang kosong dan tidak ada artinya, desas-desus dan
berbicara tentang keburukan orang lain.
Kalau orang dapat
membebaskan diri dari kata-kata dan pembicaraan yang salah dan tidak baik,
orang tentu akan bicara tentang hal-hal yang benar, memakai kata-kata yang
manis dan bersahabat, enak didengar dan lemah lembut, yang mempunyai arti dan berguna.
Dengan demikian ia tidak akan bicara seenaknya saja dan hanya bicara pada saat
yang tepat. Jadi, kalau ia tidak dapat mengutarakan sesuatu yang berguna,
dengan sendirinya ia akan membisu dalam seribu bahasa.
Perbuatan Benar
Ini bertujuan untuk
mengembangkan perbuatan-perbuatan yang bersusila, terhormat dan menjauhkan diri
dari keributan-keributan. Hal ini berarti bahwa ia tak akan membunuh, mencuri,
melakukan perbuatan yang tercela, melakukan perzinahan dan ia senantiasa
bersedia untuk menolong orang lain agar dapat juga menjalani kehidupan yang
tenang, bersih, terhormat dan dengan cara yang benar.
Penghidupan Benar
Ini berarti bahwa
orang seharusnya mempunyai penghidupan yang tidak mencelakakan atau merugikan
orang lain.
Lima pencaharian salah
harus dihindari (M. 117), yaitu:
1.
penipuan
2.
ketidaksetiaan
3.
penujuman
4.
kecurangan
5.
memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat)
Di samping itu seorang
siswa harus pula menghindari lima macam perdagangan, yaitu :
1.
berdagang alat senjata
2.
berdagang mahluk hidup
3.
berdagang daging (atau segala sesuatu yang berasal dari
penganiayaan mahluk-mahluk hidup)
4.
berdagang minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat
menimbulkan ketagihan
5.
berdagang racun
Sebaiknya, ia memilih
satu usaha atau pekerjaan yang terhormat, tidak merugikan orang lain dan tidak
mencelakakan atau menyakiti orang/makhluk lain. Dari sini dapat kita lihat
bahwa agama Buddha menentang tiap bentuk peperangan dengan tidak membenarkan
perdagangan alat-alat perang dan senjata tajam.
Tiga bagian dari
Delapan Jalan Utama ini dapat digolongkan dalam perbuatan yang bersusila.
Hendaknya disadari bahwa Sila ini bertujuan untuk memperoleh satu penghidupan
yang bahagia dan harmonis untuk orang itu sendiri dan juga untuk masyarakat
ramai di sekelilingnya. Sila ini dianggap sebagai dasar yang mutlak harus
dikembangkan untuk memperoleh hasil batiniah yang tinggi dan perkembangan
batiniah tidaklah mungkin tanpa Sila sebagai dasar.
- Samadhi
Sekarang kita akan
membahas disiplin mental yang terdiri dari tiga bagian lain dari Delapan Jalan
Utama, yaitu:
¾ Daya Upaya Benar
¾ Perhatian Benar
¾ Konsentrasi Benar
Daya Upaya Benar
Ini berarti pengerahan
kekuatan kemauan untuk:
1.
dengan sekuat tenaga mencegah munculnya unsur-unsur jahat dan
tidak baik di dalam batin
2.
dengan sekuat tenaga berusaha untuk memusnahkan unsur-unsur
jahat dan tidak baik, yang sudah ada di dalam batin
3.
dengan sekuat tenaga berusaha untuk membangkitkan unsur-unsur
baik dan sehat di dalam batin
4.
berusaha keras untuk mempernyata, mengembangkan dan memperkuat
unsur-unsur baik dan sehat yang sudah ada di dalam batin.
Perhatian Benar
Perhatian Benar ini
terdiri dari latihan-latihan Vipassana-Bhavana (meditasi untuk memperoleh
pandangan terang tentang hidup), yaitu :
1.
Kaya-nupassana – Perenungan terhadap tubuh
2.
Vedana-nupassana – Perenungan terhadap perasaan
3.
Citta-nupassana – Perenungan terhadap keadaan batin
4.
Dhamma-nupassana – Perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran
Salah satu cara
latihan terkenal yang berhubungan dengan badan jasmani ialah mengkonsentrasikan
pikiran terhadap pernapasan (Anapanasati), yang bertujuan untuk mendapatkan
kemajuan spiritual. Masih terdapat banyak lagi cara yang dipakai dalam
melakukan latihan konsentrasi yang berhubungan dengan badan jasmani kita.
Mengenai perasaan,
seseorang harus mengamat-amatinya dengan cermat dan benar-benar sadar terhadap
semua bentuk perasaan, yang menyenangkan, yang tidak-menyenangkan dan yang
netral, dan sadar pula bagaimana ia muncul dan kemudian lenyap kembali.
Mengenai keadaan
batin, hendaknya ia selalu waspada, apakah pikirannya penuh dengan hawa nafsu
atau tidak, penuh dengan kebencian atau tidak, gelisah atau tidak, sedang
melamun atau terkonsentrasi, dst.. Dengan ini ia akan selalu waspada terhadap
semua gerak gerik pikirannya dan juga bagaimana ia timbul dan lenyap kembali.
Mengenai ide-ide,
pikiran, konsepsi-konsepsi dan benda-benda, ia hendaknya dapat mengetahui
dengan terang keadaannya yang sebenarnya, bagaimana ia timbul dan lenyap,
bagaimana ia berkembang, bagaimana ia dapat ditekan, bagaimana ia dapat
dihancurkan, dst…
Keempat cara meditasi
atau latihan mental ini dibahas panjang lebar dalam Satipatthana-Sutta
(Majjhima Nikaya 10) dan Maha-Satipatthana-Sutta (Digha Nikaya 22).
Konsentrasi Benar
Bagian ketiga dan yang
terakhir dari Samadhi ini ialah Konsentrasi Benar yang dapat membawa orang
kepada empat tingkatan Dhyana (Jhana) atau yang umum dikenal sebagai trance
atau recueillement
Pada Dhyana/Jhana
tingkat ke satu, keinginan hawa nafsu dan pikiran-pikiran tertentu yang tidak
sehat seperti keinginan indria-indria, keinginan jahat (ill-will), keruwetan
pikiran, kesal, gelisah dan keragu-raguan yang skeptis telah lenyap, dan
perasaan gembira dan bahagia dicapai, bersama-sama dengan aktivitas-aktivitas
mental tertentu.
Pada Dhyana/Jhana
tingkat kedua, semua aktivitas intelek telah dikekang, keseimbangan batin dan
pikiran yang menunggal dikembangkan, sedangkan perasaan gembira dan bahagia
masih ada.
Pada Dhyana/Jhana
tingkat ketiga, perasaan gembira yang merupakan perasaan yang aktif juga
lenyap, tetapi kebahagiaan masih ada di samping batin yang penuh keseimbangan.
Pada Dhyana/Jhana
tingkat ke empat, semua perasaan yang bahagia maupun yang tidak bahagia,
kegembiraan dan kesedihan telah lenyap; hanya keseimbangan dan kesadaran murni
yang masih tertinggal.
Demikianlah pikiran
itu dilatih, dikekang dan dikembangkan dengan Daya Upaya Benar, Perhatian Benar
dan Konsentrasi Benar.
- Panna
Dua bagian yang masih
tersisa, merupakan bagian-bagian dari Pañña (Kebijaksanaan Luhur). yakni:
¾ Pengertian Benar
¾ Pikiran Benar
Pikiran Benar
Ini berarti pikiran
yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak terpengaruh lagi oleh “Sang
Aku”, pikiran cinta kasih dan tanpa-kekerasan kepada semua makhluk. Sangat
menarik hati dan penting untuk ditekankan di sini bahwa pikiran yang tidak
mementingkan diri sendiri, cinta kasih dan tanpa-kekerasan digolongkan sebagai
bagian dari kebijaksanaan. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa Kebijaksanaan
sejati harus disertai sifat-sifat luhur ini dan sumua pikiran yang mementingkan
diri sendiri, pikiran jahat, kebencian dan segala sesuatu yang mengandung sifat
kekerasan, merupakan bukti-bukti tentang masih kurangnya Kebijaksanaan di dalam
semua segi kehidupan, baik sebagai perorangan, dalam lapangan sosial maupun
dalam lapangan politik.
Pengertian Benar
Ini berarti bahwa kita
harus mengerti benda-benda menurut keadaan yang sebenarnya dan Empat
Kesunyataan Mulia inilah yang menerangkan benda-benda menurut keadaan yang
sebenarnya.
Oleh karena itu,
Pengertian Benar secara singkat dapat diartikan sebagai pengertian tentang
Empat Kesunyataan Mulia ini. Pengertian ini merupakan kebijaksanaan tertinggi
yang dapat menembus arti dan melihat secara terang Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
Menurut paham Buddhis,
terdapat dua jenis pengertian. Apa yang umum anggap sebagai pengertian ialah
pengetahuan, timbunan dari ingatan, pemahaman secara intelek akan sebuah pokok
persoalan sesuai dengan data tertentu. Hal ini disebut sebagai Anubodha.
Pengertian ini tidak begitu mendalam.
Pengertian yang lebih
mendalam disebut Pativedha (menembus), melihat benda-benda dalam keadaan yang
sebenarnya, tanpa nama dan merek. Tetapi penembusan ini hanya dimungkinkan,
apabila pikiran benar-benar bersih dari noda-noda dan dikembangkan dengan
sempurna melalui meditasi.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas dapat kita lihat
bahwa Jalan itu merupakan “way of life” yang harus dilaksanakan dan
dikembangkan oleh setiap individu. Ia merupakan pengekangan-diri
(self-discipline) dari badan jasmani, dari ucapan dan dari pikiran,
mengembangkan dan melatih diri, dan membersihkan diri. Ia tidak ada sangkut
pautnya dengan kepercayaan, sembahyang, memuja atau upacara keagamaan. Ia
merupakan Jalan yang menuju ke Kesunyataan Mutlak, kebebasan sempurna,
kebahagiaan dan kedamaian hati melalui kesempurnaan moral, spiritual dan
intelektual.
Di negara-negara Buddhis masih banyak
dilakukan upacara-upacara keagamaan yang sewaktu-waktu sederhana dan
sewaktu-waktu megah. Hal ini hanya sedikit sangkut pautnya dengan Jalan Yang
Mulia ini. Tetapi ada juga kegunaannya, yaitu memberi kepuasan kepada
emosi-emosi keagamaan tertentu dan kebutuhan spiritual dari mereka yang masih
belum maju, untuk kemudian dengan perlahan-lahan dibimbing ke Jalan yang benar.
Berhubung dengan Empat Kesunyataan Mulia ini
kita harus melakukan empat tugas:
- Kesunyataan Mulia Pertama ialah Dukkha, yang membahas
mengenai penghidupan seseorang, penderitaannya, kesedihan dan
kegembiraannya, ketidaksempurnaan dan ketidakpuasannya, ketidakkekalannya
dan kenyataan bahwa tidak terdapatnya satu inti yang kekal abadi. Berhubung
dengan keadaan ini tugas kita ialah mengerti dan menerimanya sebagai fakta
yang jelas dan menyeluruh (Pariññeyya).
- Kesunyataan Mulia kedua ialah tentang Sumber Dukkha,
yang berupa keinginan, kehausan disertai dengan semua nafsu-nafsu yang
lain, noda-noda serta kekotoran-kekotoran batin. Mengerti saja fakta ini
tidaklah cukup. Di sini tugas kita ialah menyingkirkan, menghancurkan dan
mencabut sampai ke akar-akarnya (Pahatabba).
- Kesunyataan Mulia Ketiga ialah tentang Terhentinya
Dukkha, Nibbana, Kesunyataan Mutlak, Kesunyataan Terakhir. Di sini tugas
kita ialah untuk merealisasinya, menyelaminya (Sacchikatabba).
- Kesunyataan Mulia keempat ialah tentang Jalan yang
menuju ke terhentinya dukkha, Nibbana. Pengertian belaka dari Jalan ini,
biarpun bagaimana sempurna, tidak akan berguna. Tugas kita di sini ialah
melaksanakannya dengan baik dan konsekwen (Bhavetabba).
Sumber Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar